TEORI KOMUNIKASI MASSA
Menurut Dennis McQuail (1987), jenis dan teori komunikasi massa
adalah sebagai berikut:
1.
Teori Ilmu Pengetahuan Sosial (Social Scientific Theory)
Teori ini berdasarkan pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan
sifat dasar, cara kerja, dan pengaruh komunikasi massa yang bersumber dari observasi sistematis yang sedapat mungkin
diupayakan bersifat objektif. Sumber teori ini merupakan kenyataan tentang
media. Dalam penerapannya jenis teori ini sering bergantung pada ilmu sosial
lainnya.
2.
Teori Normatif (Normative Theory)
Teori ini berkenaan dengan masalah bagaimana seharusnya media
berperan ketika serangkaian nilai sosial ingin diterapkan dan dicapai sesuai
dengan sifat dasar nilai-nilai sosial tersebut. Jenis teori ini begitu pennting
karena berperan dalam membentuk institusi media. Bahkan media berpengaruh besar
dalam membatu apa yang diharpkan oleh publik media, organisasi, serta pelaksana
organisasi sosial itu sendiri.
3.
Teori Praktis (Operational Theory)
Pada awalnya teori ini dikembangkan oleh para praktisi media. Teori
ini menyuguhkan penuntun tentang tujuan media, cara kerja yang seharusnya
diharapkan agar seirama dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan sosial yang
sifatnya lebih abstrak, serta cara-cara pencapaian beberapa sasaran tertentu.
Sebuah teori masuk dalam rumpn teori praktis karena bisa membentu menemukan
jawaban masalah.
4.
Teori Akal Sehat (Commonsense
Theory)
Teori ini merupakan pengetahuan (dan gagasan) yang dimiliki oleh
setiap orang dengan begitu saja atau melalui pengalaman langsung dengan
masyarakat. Setiap pembaca surat kabar atau penonton televisi mempunyai teori
sendiri (mempunyai seperangkat gagasan) tentang media tersebut.
5.
Teori Masyarakat Massa
Teori ini menekankan ketergantungan timbal balik antar institusi
yang memegang kekuasaan dan integrasi media terhadap sumber kekuasaan sosial
dan otoritas. Dengan demikian isi media cenderung melayani kepentingan pemegang
kekuasaan politik-ekonomi. Namun demikian, meskipun media tidak bisa diharapkan
menyuguhkan pandangan kritis atau tinjauan lain menyangkut masalah kehidupan,
media tetap memiliki kecenderungan untuk membentu publik bebas dalam menerima
keberadaannya sebagaimana adanya.
6.
Teori Media Politik-Ekonomi
Teori media politik-ekonomi merupakan nama lama yang dihidupkan kembali untuk digunakan dalam
menyebutkan sebuah pendekatan yang memusatkan perhatian lebih banyak pada
struktur ekonomi daripada muatan (isi) ideoligis media. Teori ini mengemukakan
ketergantungan ideologi pada kekuatan
ekonomi dan mengarahkan perhatian penelitian pada analisis empiris
terhadap struktur pemilikan dan mekanisme kerja keuatan pasar media. Menurut
tinjauan ini, institusi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan
sistem politik.
7.
Teori Hegemoni Media
Teori ini kurang memusatkan perhatian pada faktor ekonomi dan
struktur ideologi itu sendiri, bentuk ekspresi, cara penerapan, dan mekanisme
yang dijalankannya untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para korbannya (terutama
kelas pekerja), sehingga upaya itu berhasil mempengaruhi dan membentuk alam
pikiran mereka. Perbedaan teori ini dengan pendekatan Marxis klasik dan
pendekatan politik-ekonomi terletak pada pengakuannya terhadap lebih besarnya
kadar ketidaktergantungannya pada kekuatan ekonomi.
Ideologi sebagai salah satu definisi reaalitas yang kabur dan
gambaran hubungan antarkelas, atau hubungan inajiner para individu dengan
kondisi keberadaan mereka yang sebenarnya tidaklah dominan dalam pengertian
bahwa ideologi itu dipaksakan oleh kelas penguasa, tetapi merupakan pengaruh
budaya yang disebarkan secara adar dan dapat meresap, serta berperan dalam
menginterpretasikan pengalaman tentang kenyataan. Proses interpretasi ini
berlangsung secara tersembunyi, tetapi terjadi secara terus-menerus.
8.
Teori Masyarkat Informasi
Pada dasarnya masyarakat informasi(masyarakat pascaindustri) adalah
masyarakat yang menilai informasi sebagai sumber daya, sarana produksi, dan
produk utama yang paling berharga. Oleh karena itu, mayoritas tenaga kerjanya
adalah pekerja informasi. Di samping itu, berdasarkan beberapa indikasi lainnya
informasi mengandung nilai ekonomi dn sosial yang dominan. Kategori pekerjaan
informasi memiliki lingkup yang sangat luas, termasuk semua orang yang
pekerjaannya berkaitan dengan produksi, pengolahan dan distribusi informasi
atau produksi teknologi informasi. Pada semua masyarakat maju semua bidang
tersebut cenderung mengalami perkembangan yang sangat cepat.
Walaupun peran media masssa dalam kenaikan produksi informasi
tersebut sulit dipastikan, namun menurut beberapa perkiraan perannya dapat
dikatakan besar. Media massa memang cukup banyak terlibat dalam proses
perubahan tersebut, sehingga mendapat perhatian besar dalam teori tentang
masyarakat innfomasi. Dapat dikatakan bahwa media massa semakin berkembang dan
efisisen dalam memproduksi dan mendistribusikan informasi, dalmm pengertian
luas, media massa merupakan perangsang penting terhadap penilaian dan konsumsi
informasi, media massa menunjang upaya produksi, perolehan teknologi komunikasi
dan pengembangan teknologi baru, media massa merupakan sektor pekerjaan yang
semakin membuka kesempatan bagi para pekerja informasi.
Teori-teori lain :
1.
Teori Jarum Suntik (Hypodermic Needle Theory)
Teori ini ditampilkan tahun 1950-an setelah peristiwa
penyiaran kaledioskop stasiun radio
siaran CBS di Amerika berjudul The Invansion from Mars. Teori ini
mengasumsikan bahwa media massa memiliki kekuatan yang luar biasa, sehingga
khalayak tidak mampu membendung informasi yang dilancarkannya. Sedangkan
khalayak dianggap pasif, sehingga tidak bisa bereaksi apapun kecuali hanya menerima begitu saja semua pesan yang
disampaikan media massa.
Teori ini di samping mempunyai pengaruh yang sangat kuat juga
mengasumsikan bahwa para pengelola media dianggap sebagai orang yang lebih
pintar dibanding khalayak. Akhirnya, khalayak bisa dikelabui sedemikian rupa
dari apa yang disiarkannya. Teori ini mengasumsikan media massa mempunyai
pemikiran bahwa khalayak bisa ditundukkan atau bahkan bisa dibentuk dengan cara
apapun yang dikehendaki media.
Contoh
kasus:
Adegan
yang ada di film bergenre action sedikit
banyak telah mempengaruhi perilaku anak-anak
dalam kehidupan sehari-harinya. Apabila mereka berkelahi tak jarang
mereka melakukan sama persis dengan apa yang dilakukan oleh aktir dalam film
yang ditontonnya. Oleh karena itu, pengawasan orang tua dirasa sangat diperlukan
dalam hal ini.
2.
Teori Kutivasi (Cultivation Theory)
Teori ini ppertama kali dikenalkan oleh Profesor george Gerbner
ketika ia menjadi Dekan Anneberg School of Communication di Universitas
Pennsylvania Amerika Serikat. Tulisan pertamanya yang memperkenalkan teori ini
adalah Living with Television: The Violenceprofile, Journal of
Communication.
Menurut teori ini, televisi menjadi media atau alat utama di mana
para penontonn televisi belajar tentang
masyarakat dan kultur di lingkungannya. Teori kultivasi ini di awal
perkembangannya lebih memfokuskan kajiannya pada studi televisi dan khalayak,
khususnya memfokuskan pada tema-tema kekerasan di televisi. Para pecandu berat
televisi akan menganggaop bahwa apa yang terjadi di televisi adalah dunia yang senyatanya.
Penelitian kultivasi menekankan bahwa media massa merupakan agen sosialisasi
dan menyelidiki apakah penonton televisi itu lebih mempercayai apa yang
disajikan televisi daripada apa yang mereka lihat sesungguhnya.
Contoh kasus:
Program acara sinetron yang ditayangkan televisi swasta semisal Diam-diam
Suka, Cinta yang sama, dll ini masing-masing membahas kehidupan remaja yang menonjolkan
masalah percintaan, gaya hidup remaja yang glamour, kenakalan remaja,
dll. Para pecandu berat televisi akan mengatakan bahwa di masyarakat
sekarang khususnya kehidupan para remajanya istilah pacaran bukanlah hal yang
tabu, bahkan sudah sampai pada taraf yang tidak semestinya, yakni adanya
fenomena remaja hamil di luar nikah dan aborsi. Hal ini terjadi karena sinetron
yang ditontonnya menonjolkan kasus tersebut. Pendapat itu mungkin memanng tidak
salah, tetapi ia terlalu menggeneralisasikan ke seluruh lapisan masyarakat.
Bahkan pecandu sinetron sangat percaya bahwa apa yang terjadi pada masyarakkat
sama seperti yang dicerminkan dalam sinetron-sinetron tersebut.
3.
Cultural Imperialism Theory
Teori ini pertama kali
ditemukan oleh Herb Schiller pada tahun
1973. Tulisan pertamanya yang dijadikan sebagai dasar munculnya teori ini
adalah Communication and Cultural Domination.
Teori imperialisme budaya menyatakan bahhwa negara Barat
mendominasi media di seluruh dunia. Hal ini berarti, media massa negara Barat
mendominasi media massa di dunia ketiga. Alasannya, media Barat mempunyai efek
yang kuat untuk mempengaruhi media dunia ketiga. Media Barat sangat mengesankan
bagi media dunia ketiga, sehingga mereka ingin meniru budaya yang muncul lewat
media tersebut. Dalam perspektif teori ini, ketika terjadi proses peniruan
media negara berkembang dari negara maju, saat itulah terjadi penghancuran
budaya asli di negara ketiga.
Kebudayaan Barat memproduksi hampir mayoritas media massa di dunia,
seperti film, berita, komik, foto, dan lain-lain. Mereka bisa mendominasi
sedemikian rupa karena punya uang dan teknologi. Negara dunia ketiga tertarik
untuk membeli produk Barat tersebut. Sebab, membeli produk jauh lebih murah
daripada membuatnya sendiri. Dampak selanjutnya, orang-orang di negara dunia
ketiga yang melihat media massa di negaranya akan menikmati sajian-sajian yang
berasal dari gaya hidup, kepercayaan, dan pemikiran.
Selanjutnya, negara dunia ketigatanpa sadar meniru apa yang
disajikan media massa yang sudah banyak diisi oleh kebudayaan Barat
tersebut. Saat itulah terjadi
penghancuran budaya asli negaranya untuk kemudian mengganti dan disesuaikan
dengan budaya Barat. Kejadian ini bisa dikatakan sebagai imperialisme budaya
Barat. Imperialisme itu dilakukan oleh media massa Barat yang telah
mendominasi media massa dunia ketiga.
Contoh
kasus:
Ketika
dalam kita menonton film Independence Day, saat itu kita belajar tentang
bangsa Amerika dalam menghadapi musuh atau perjuangan rakyat Amerika dalam
mencapai kemerdekaan.
4.
Media Equation Theory
Teori ini pertama kali dikenalkan oleh Byron Reeves dan Clifford
Nass (profesor jurusan komunikasi Universitas Stanford Amerika) dalam
tulisannya The Media Equation: How People and Places pada tahun 1996.
Media Equation Theory atau
teori persamaan media ini ingin menjawab persoalan mengapa orang-orang secara
tidak sadar dan bahkan secara otomatis merespons apa yang dikomunikasikan media
seolah-olah (media itu) manusia. Menurut
asumsi teori ini, media diibaratkan manusia. Teori ini memperhatikan
bahwa media juga bisa diajak berbicara. Media bisa menjadi lawan bicara
individu seperti dalam komunikasi interpersonal yang melibatkan dua orang dalam
situasi face to face.
Contoh
kasus:
Teori
ini akan menemukan kebenarannya jika digunakan untuk mengamati aktivitas di
dalam perpustakaan. Banyak perpustakaan yang saat ini memanfaatkan komputer.
Suatu fakta yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Jika sebelumnya kita
mencari katalog secara manual (misalnya dengan mencari daftar buku di laci
kecil perpustakaan yang berisi daftar
singkat mengenai sebuah buku dan jika kita bingung akan bertanya pada petugas
perpustakaan), saat ini semua itu sudah diatasi
dengan komputer yang disediakan di
perpustakaan. Komputer akan menjawab semua persoalan kita yang
berhubungan dengan perpustakaan scera umum dan buku yang disediakan secara
khusus.
5.
Spiral of Silence Theory
Elizabeth Noelle-Neumann (seorang profesor emiritus penelitian
komunikasi dari Institute fur Publizistik Jerman) adalah orang yang memperkenalkan
teori spiral keheningan/kesunyian ini. Secara ringkas teori ini ingin menjawab
pertanyaan mengapa orang-orang dari
kelompok minoritas sering merasa perlu untuk menyembunyikan pendapat dan
pandangannya ketika berada dalam kelompok mayoritas. Seseorang sering merasa
perlu menyembunyikan “sesuatu”-nya ketika berada dalam kelompok mayoritas.
Bahkan orang-orang yang sedang berada dalam kelompok mayoritas
sering merasa perlu untuk mengubah pendiriannya. Sebab, kalau tidak mengubah
pendiriannya, ia akan merasa sendiri. Kajian ini menitikberatkan peran opini
dalam interaksi sosial. Opini yang berkembang
dalam kelompok mayoritas dan kecenderungan seseorang untuk diam (sebagai
dasar teori spiral kesunyian) karena dia berasal dari kelompok minoritas juga
bisa dipengaruhi oleh isu-isu dari media masa.
Contoh kasus:
Di Indonesia
ada dua kelompok besar yang setuju dan tidak setuju dengan penerapan di
Indonesia. Bagi kelompok yang pro demokraasi dikatakan bahwa demokrasi merupakan
hasil akhir dan paling baik yang akan mengantarkan bangsa Indonesia ke
kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Asumsi lainnya, bahwa
masyarakat itu adalah pilar utama negara, maka demokrasi harus dijalankan dalam
berbagai aspek kehidupan. Sementara itu, kelompok penentang demokrasi
mengatakan bahwa kita mempunyai cara sendiri dalam mengatur negara dan
masyarakat Indonesia, kita memiliki Pancasila, dan kita adalah bangsa yang
mementingkan perstuan. Demokrasi hanya
akan mengancam keharmonisan hidup selama ini. Kalangan Islam mengatakan bahwa
demokrasi dalam Islam sudah ada dan tidak perlu mengubahnya.
6.
Technological Determinism Theory
Teori ini dikemukakan oleh Marshall McLuhan pertama kali pada tahun
1962 dalam tulisannya The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man. Ide
dasar teori ini adalah bahwa perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara
berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri. Teknologi
membentuk bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat, dan akhirnya
mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi
yang lain.
McLuhan berpikir bahwa budaya kita dibentuk oleh bagaimana cara
kita berkomunikasi. Paling tidak, ada beberapa tahapan yang layak disimak. Pertama,
penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya. Kedua,
perubahan di dalam jenis-jenis komunikasi akhirnya membentuk kehidupan
manusia. Ketiga, peralatan untuk berkomunikasi yang kita gunakan
membentuk atau memengaruhi kehidupan kita sendiri.
Contoh kasus :
Suatu
masyarakat yang belum mengenal huruf menuju masyarakat yang memakai peralatan
komunikasi cetak ke masyarakat yang memakai peralatan komunikasi elektronik.
7.
Teori Difusi Inovasi (Diffusion Inovation Theory)
Artikel berjudul The People’s Choice yang ditulis oleh Paul
Lazarfeld, Bernard Barelson, dan H. Gaudet pada tahun 1944 menjadi titik awal
munculnya teori difusi-sosial. Dalam teori ini dikatakan bahwa komunikator yang
mendapatkan pesan dari media massa sangat kuat untuk memengaruhi khalayak.
Dengan demikian, adanya inovasi, lalu disebarkan (difusi) melalui media massa
akan kuat memengaruhi massa untuk mengikutinya.
Teori ini di awal perkembangannya mendudukkan peran opini dalam
memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Artinya, media massa mempunyai
pengaruh yang kuat dalam menyebarkan penemuan baru. Apalagi jika penemuan baru
itu kemudian diteruskan oleh para pemuka
masyarakat. Akan tetapi, difusi-inovasi juga bisa langsung mengenai khalayaknya.
Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) difusi adalah proses di mana penemuan
disebarkan kepada masyarakat yang menadi anggota sistem sosial.
Unsur utama difusi adalah (a) inovasi; (b) yang dikomunikasikan
melalui saluran tertentu; (c) dalam jangka waktu tertentu; (d) di antara para
anggota suatu sistem sosial. Inovasi adalah suatu ide, karya atau objek yang
dianggap baru oleh seseorang. Ciri-ciri inovasi yang diraskan oleh para anggota
suatu sistem sosial menentukan tingkat adopsi: (a) relative advantage (keuntungan
relatif); (b) compatibility (kesesuaian); (c) complexity (kerumitan);
(d) triability (kemungkinan dicoba); (e) observability (kemungkinan
diamati).
Relative advantage adalah
suatu derajat di mana inovasi diraasakan lebih baik daripada ide lain
yang menggantikannya. Compability adalah suatu derajat di mana inovasi
dirasakan ajeg atau konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalamann dan
kebutuhan mereka yang melakukan adopsi. Complexity adalah mutu derajat di mana inovasi dirasakan sulit
dimengerti dan digunakan. Triability adalah mutu derajat di mana inovasi
dieksperimentasikan pada landasan yang terbatas . Observability adalah
suatu derajat di mana inovasi dapat
disaksikan oleh orang lain.
Everett M. Rogers dan Floyd G. Shoemaker mengemukakan bahwa teori
difusi inovasi dalam prosesnya ada empat tahap, yaitu:
· Pengetahuan, kesadaran individu akan adanya inovasi dan pemahaman tertentu
tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi.
· Persuasi, individu membentuk sikap setuju atau tidak setuju terhadap
inoovasi.
· Keputusan, individu melibatkan dii pada aktivitas yang mengarah pada
pilihan untuk menerima atau menolak
inovasi.
· Konfirmasi, individu mencari penguatan (dukungan) terhadap keputusan yang telah
dibuatnya, tapi ia mungkin saja merubah keputusan jika ia memperoleh isi
pernyataan yang bertentangan.
Jika
disimpukan, menurut teori ini sesuatu yang baru akan menimbulkan keingintahuan
masyarakat untuk mengetahuinya. Seseorang yang menemukan hal baru cenderung
untuk mensosialisasikan dan menyebarkannya kepada orang lain. Jadi sangat
cocok, penemu ingin menyebarkan, sementara orang lain ingin mengetahuinya. Lalu
dipakailah media massa untuk memperkenalkan penemuan baru tersebut. Jadi, antara penemu, pemakai, dan
media massa sama-sama diuntungkan.
8.
Uses and Gratifications Theory
Herbert Blummer dan Elihu Katz adalah orang pertama yang
mengenalkan teori ini. Teori uses and
gratifications (kegunaan dan kepuasan) ini dikenalkan pada tahun 1974 dalam
bukunya The Uses on Mass Communications: Current Perspectives on
Gratification Research. Teori ini mengatakan bahwa pengguna media memainkan
peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain,
pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media
berusaha untuk mencari sumber media yang paling
baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya. Artinya, teori ini
mengasumsikan bahwa penngguna mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan
kebutuhannya.
Teori ini merupakan kebalikan dari teori peluru. Teori ini lebih
menekankan pada pendekatan manusiawi dalam melihat media massa. Artinya,
menusia itu mempunyai otonomi, wewenang untuk memperlakukan media. Menurut
pendapat teori ini, konsumen media mempunyai kebebasan untuk memutuskan
bagaimana (lewat media mana) mereka menggunakan media dan bagaimana media itu
akan berdampak pada dirinya. Teori ini juga menyatakan bahwa media dapat
mempunyai pengaruh jahat dalam kehidupan.
Kita bisa memahami interaksi orang dengan media melalui
pemanfaatan media oleh orang itu(uses)
dan kepuasan yang diperoleh (gratification). Gratifikasi yang sifatnya
umum antara lain pelarian dari rasa khawatir, peredaan rasa kesepian, dukungan
emosional, perolehan informasi, dan kontak sosial.
Contoh kasus:
Channel MetroTV tentu akan lebih banyak dipilih oleh mereka yang ingin
mencari kepuasan dalam perolehan informasi
dan berita dibanding dari khalayak yang ingin memperoleh suatu pelarian
diri dari rasa khawatir. Orang yang senang sinetron akan memanfaatkan dan mencari
kepuasan pada media yang bisa memberikan kebutuhannya daripada media yang lain.
9.
Teori Agenda Seting (Agenda Setting Theory)
Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw adalah orang yang pertama kali
memperkenalkan teori ini, yang muncul pada tahun 1973 dengan publikasi
pertamanya The Agenda Setting Function of The Mass Media.
Secara singkat teori penyusunan agenda ini mengatakan media
(khususnya media berita) tidak selalu berhasil memberitahu apa yang kita pikir,
tetapi media tersebut benar-benar berhasil memberitahu kita berpikir tentang
apa. Media massa selalu mengarahkan kita pada apa yang harus kita lakukan.
Media memberikan agenda-agenda melalui pemberitaannya, sedangkan masyarakat
akan mengikutinya.
Menurut asumsi teori ini, media mempunyai kemampuan untuk
menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat
pada gagasan atau peristiwa tertentu. Media mengatakan pada kita apa
saja yang penting dan apa yang tidak penting. Media pun mengatur apa yang harus
kita lihat, tokoh siapa yang harus kita dukung. Dengan kata lain, agenda media
adalah agenda masyarakatnya.
Mengikuti pendapat Chaffe dan Berger (1997) ada beberapa catatan
yang perlu dikemukakan untuk memperjelas teori ini:
· Teori itu
mempunyai kekuatan penjelas untuk menerangkan mengapa orang sama-sama menganggap
penting suatu isu.
· Teori itu
mempunyai kekuatan memprediksikan bahwa jika orang-orang mengekspos pada suatu
media yang sama, mereka akan merasa isu yang sama tersebut penting.
· Teori tersebut
dapat dibuktikan salah jika orang-orang
tidak mengekspos media yang sama maka mereka tidak akan mempunyai kesamaan
bahwa isu media itu penting.
Sementara itu, Stephen W. Littlejohn (1992) pernah mengatakan, agenda
setting ini beroperasi dalam tiga bagian sebagai berikut:
· Agenda media
itu sendiri harus diformat. Proses ini akan memunculkan masalah bagaimana
agenda media itu terjadi pada waktu pertama kali.
· Agenda media
dalam banyak hal memengaruhi atau berinteraksi dengan agenda publik atau
kepentingan isu tertentu bagi publik. Pernyataan ini memunculkan pertanyaan,
seberapa besar kekuatan media mampu memengaruhi agenda publik dan bagaimana
publik itu melakukannya.
· Agenda publik
memengaruhi atau berinteraksi ke dalam agenda kebijakan. Agenda kebijakan
adalah pembuatan kebijakan publik yang dianggap penting bagi individu.
Dengan demikian, agenda setting ini memprediksikan bahwa
agenda media memengaruhi agenda publik, sementara agenda publik sendiri
akhirnya memengaruhi agenda kebijakan.
Untuk memperjelas tiga agend dalam teori ini, ada beberapa dimensi
yang berkaitan seperti yang dikemukakan
oleh Mannhein sebagai berikut:
a)
Agenda media terdiri dari dimensi-dimensi berikut:
· Visibility (visibilitas), yakni jumlah dan
tingkat menonjolnya berita.
· Audience
salience (tingkat
menonjol bagi khalayak), yakni relevansi isi berita dengan kebutuhan khalayak.
· Valence (valensi), yakni menyenangkan atau tidak menyenangkan cara
pemberitaan bagi suatu peristiwa.
b)
Agenda khalayak terdiri dari dimensi-dimensi berikut:
· Familirity (keakraban), yakni derajat kesadaran khalayak akan topik tertentu.
· Personal
salience (penonjolan
pribadi), yakni relevansi kepentingan individu dengan ciri pribadi.
· Favorability (kesenangan), yakni pertimbangan senang atau tidak senang akan
topik berita.
c)
Agenda kebijakan terdiri dari dimensi-dimensi berikut:
· Support (dukungan), yakni kegiatan menyenagkan bagi posisi suatu berita
tertentu.
· Likelihood of
action (kemungkinan
kegiatan), yakni kemungkinan pemerintah melaksanakan apa yang diibaratkan.
· Freedom of
action (kebebasan
bertindak), yakni nilai kegiatan yang mungkin dilakukan pemerintah.
10.
Media Critical Theory
Teori ini berakar dari aliran ilmu-ilmu kritis yang bersumber pada
ilmu sosial Marxis. Beberapa tokoh pelopornya antara lain; Karl Marx, Engels
Guevera, Regis, Debay, T. Adorno, Horkheimer, Marcuse, Habermas, Altrusser,
Johan Galtung, Cardoso, Dos Santos, Paul Baran Samir Amin, Hamza Alavi
(pemikiran modern). Ilmu ini juga disebut dengan emancipatory science (cabang
ilmu sosial yang berjuang untuk mendobrak status quo dan membebaskan
manusia, khususnya rakyat miskin dan kecil dari status quo dan struktur
sistem yang menindas).
Beberapa teori studi budaya (cultural studies) dan ekonomi
politik juga bisa dikaitkan dengan teori kritis. Sebab, teori-teori itu secara
terbuka menekankan perlunya evaluasi dan kritik terhadap status quo. Teori
kritis membangun pertanyaan dan menyediakan alternatif jalan untuk
menginterpretasikan hukum sosial media massa.
Teori kritis sering menganalisis secara khusus lembaga sosial,
penyelidikan luas untuk yang dinilai objektif adalah mencari dan mencapai. Media
massa dan budaya massa telah mempromosikan banyak hal yang ikut menjadi sasaran
teori kritis. Bahkan ketika media massa tidak melihat sebagai sumber masalah
khusus, mereka dikritik untuk memperburuk atau melindungi masalah dari yang
diidentifikasikan atau disebut dan dipecahkan.
Bisa dikatakan bahwa teori media kritis ini sebisa mungkin
mendorong perubahan secara terus-menerus. Hegemoni pemilik modal sudah saarnya
dihilangkan dengan perlawanan. Sebab, pemilik modal biasanya akan lebih
mementingkan safety first bisnis media massanya. Artinya, jika kebijakan
media mengancam kemarahan pemerintah yang akhirnya mengancam bisnis medianya
harus dilawan. Teori media kritis merupakan alternatif baru dalam usaha
memahami seluk-beluk media dan bagaimana media itu harus selalu bersikap untuk
tidak mengukuhkan status quo.
Menurut perspektif teori ini, media tidak boleh hanya memberitakan
fakta atau kejadian yang justru memperkuat status quo. Media harus terus
mengkritisi setiap ketidakadilan yang ada di sekitarnya. Hal ini juga berarti,
media tidak boleh tunduk pada pemilik modal yang kadang ikut menghegemoni isi
medianya. Media harus terus mengkritisi dan melawan segala bentuk hegemoni dan
kekuasaan yang hanya berada di tangan penguasa.
11.
Selective Processes Theory (Teori Proses Selektif)
Teori ini merupakan hasil penelitian lanjutan tentang eefek media
masa pada Perang Dunia II yang mengatakan bahwa penerimaan selektif media massa
mengurangi sejumlah dampak media. Teori ini menilai khalayak cenderung
melakukan selective exposure (terpaan selektif). Mereka menolak pesan
yang berbeda dengan kepercayaannya.
Tahun 1960 Joseph Kalpper menerbitkan kajian penelitian efek media
massa yang tergabung dalam penelitian pasca perang tentang persuasi, pengaruh
personal dan proses selektif. Klapper menyimpulkan bahwa pengaruh media itu
lemah, presentase pengaruhnya kecil bagi pemilih dalam pemilihan umum, pasar
saham, dan pengiklan.
12.
Social Learning Theory (Teori Pembelajaran Sosial)
Selama beberapa tahun kesimpulan Klapper dirasakan kurang
memuaskan. Penelitian dimulai lagi dengan memakain pendekatan yang baru, yang
dapat menjelaskan pengaruh media yang tak dapat disngkal lagi, terutama
televisi terhadap remaja. Maka muncullah teori baru yang bernama Social
Learning Theory (Teori Pembelajaran Sosial). Teori ini diaplikasikan pada
perilaku konsumen yang bertujuan untuk memahami efek terpaan media massa.
Berdasarkan hasil penelitian Albert Bandura, teori ini menjelaskan bahwa
pemirsa meniru aoa yang mereka lihat di televisi, melalui suatu proses observational
learning (pembelajaran hasil pengamatan). Klapper menganggap bahwa ganjaran
dari karakter TV diterima sebagai perilaku antisosial, termasuk menjadi toleran
terhadap perilaku perampokan dan kriminalitas, menggandrungi kehidupan glamor
seperti di televisi.
Referensi:
Denis McQuail. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengentar Edisi
Kedua. Terjemahan Agus Dharma,dkk. Jakarta: Penerbit Erlangga. 1987
Elvinaro Ardianto, dkk. Komunikasi Massa Suatu Pengantar.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2007
Nuruddin. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada. 2007
Rohim, Syaiful. Teori Komunikasi Perspektif,
Ragam, dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta. 2009
MAAF SAY NUMPANG PROMO HARGA SPESIAL TERBARU 2015 BERBAGAI MACAN MEREK HENDPHONE>SAMSUNG>BLACKBERRYNOKIA>ASUS>LENOVO>ADVAN>SMARTFREN>OPPO>ACER>TOSHIBA>NIKON>DELL>CANON>XIOMI>DLL TERPERCAYA>100% BEBAS RESIKO BEBAS PENIPUAN (Info Pemesanan)CALL/SMS:085757299675>PIN BBM: (24C4A399) WEB>WWW.NABILA-SAIRA-SHOP.BLOGSPOT.COM
BalasHapusIzin copas terimakasih
BalasHapusIzin copas terimakasih
BalasHapusizin copas ya kak , terimakasih.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusInfonya bermanfaat banget bro..... mampir ke CATATAN KULIAH KU : [ Klik Disini ] ya.... salam kenal.... :)
BalasHapus