Pada masa lalu, agama dianggap sebagai sesuatu yang amat
sakral. Agama menjadi hal yang begitu penting dan sangat dijunjung tinggi oleh
setiap penganutnya. Kebutuhan manusia terhadap agama adalah sesuatu yang inheren
dalam dirinya. Agama menjadi tuntunan hidup yang mengarahkan setiap pemeluknya
menjadi lebih santun dan beradab.
Namun, agaknya dalam era modernisasi seperti saat ini,
ilmu pengetahuan dan teknologi telah menggeser posisi agama dalam batas-batas
tertentu. Pasca jatuhnya orde baru, perkembangan media di Indonesia menjadi
sangat pesat. Salah satunya adalah media
televisi yang berlomba-lomba menyajikan tayangan yang menarik bagi khalayak.
Umat Islam pun tidak luput dari sasaran media televisi.
Salah satu cara untuk menarik pemirsa dari kalangan
Muslim adalah dengan menghadirkan program dakwah di televisi. Kini, hampir
setiap televisi memiliki program dakwahnya masing-masing. Demi mempertahankan
penonton agar tidak berpindah ke channel lain, maka sajian dakwah pun
dikemas sedemikian rupa dengan menghadirkan unsur hiburan agar terlihat tidak
kaku dan segar. Sehingga kemudian muncullah istilah baru dalam dakwah, yaitu
“dakwahtainment” atau dakwah yang “menghibur.”
Kehadiran agama dalam suatu program di televisi di satu
sisi memberikan kesempatan bagi para pemeluknya untuk mengenal agamanya lebih
dekat. Dakwah di televisi memungkinkan para ulama untuk dapat menyampaikan
ajaran agama kepada masyarakat yang lebih luas. Namun, di balik semua itu,
muncul keprihatinan terkait konsep dakwahteinment yang berkembang saat ini,
yang lebih mengarah pada tontonan daripada tuntunan.
Mengingat konsep dakwahtainment adalah perpaduan antara
dakwah dan entertainment, maka sangat jelas jika unsur “hiburan” tidak
bisa dipisahkan dari dakwah. Maka, kemudian dihadirkanlah orang-orang yang
mampu berdakwah sekaligus menghibur. Hal ini menjadi penting, karena dalam
tayangan dakwah tersebut harus ada “sesuatu” yang membuat penonton tidak
berpindah pada channel yang lain.
Tuntutan untuk mendapatkan seorang juru dakwah sekaligus
penghibur, pada akhirnya mengantarkan kita pada kemunculan ustadz-ustadz baru
yang dalam bahasa trend-nya disebut ustadz gaul. Televisi tidak bisa
jauh dari dunia entertain, maka jika diperhatikan tipikal ustadz gaul
ini adalah mereka yang secara fisik menarik, pandai melucu, kocak, bisa
menyanyi dan berpantun. Tidak ada yang salah dengan semua ini. Namun, yang
perlu dikhawatirkan adalah jika para ustadz ini kemudian tidak lagi terlihat
sebagai pendakwah, namun lebih kepada “penghibur.”
Televisi menggenjot para ustadz gaul tersebut untuk menaikkan rating
iklan, yang membuat untung besar bagi pengelola televisi. Bahkan untuk membuat
penonton makin penasaran dan makin menyukai Sang Ustadz, maka sisi kehidupannya
pun diekspos. Hingga kini, seorang ustadz yang tampil di layar kaca tak ubahnya seperti seorang selebritis.
Agama yang dulu dianggap sebagai tuntunan, kini dipandang
hanya sekedar tontonan. Pengajian beberapa tahun lalu yang masih dihadiri
banyak orang, tidak peduli siapa penceramahnya yang penting bisa mendengarkan
dan memahami isinya sudah sangat cukup bagi masyarakat. Kini, pengajian bisa
ditonton di televisi, sehingga masyarakat tidak perlu datang ke masjid-masjid untuk
mengkaji ilmu agama. Praktis memang, namun sekarang orang menonton pengajian
hanya sebatas suka pada penampilan, gaya, bahkan lelucon ustadz-nya saja tanpa memahami substansi
dakwahnya.
Perbedaan antara tuntunan dan tontonan dalam dakwah
semakin transparan. Dakwahteinment yang belakangan lebih terlihat sebagai acara
entertain dibanding acara dakwah dalam pandangan Dicky Sofyan, Ph.D
(2013) telah mengantarkan kita pada The Trivialization of Religion atau
pendangkalan agama. Dimana agama dianggap sebagai sesuatu yang remeh-temeh.
Dalam bukunya Agama dan televisi di Indonesia; Etika
Seputar Dakwahtainment, Dicky Sofyan menyebutkan bahwa pendangkalan itu terjadi
karena dakwah seringkali mengorbankan substansi pesan religius. Hal ini semakin
ironis dengan disertakannya para pelawak dalam acara dakwah, yang membuat kesan
bahwa dakwah hanya sekedar banyolan. Hal ini semakin terlihat jelas dengan
hadirnya pertanyaan-pertanyaan jamaah yang hanya berputar pada sisi syariat
(fiqih) yang itu-itu saja, dan menganggap bahwa agama adalah soal halal haram saja.
Terlau banyak humor dalam acara dakwah membuatnya semakin
mirip dengan acara komedi. Kebiasaan kita tertawa dalam dakwah akan
mempengaruhi cara pandang terhadap agama itu. Padahal agama yang dalam istilah
Durkheim sebagai sesuatu yang scared (suci) kini terlihat menjadi
sesuatu yang profane (biasa). Sehingga ketika seseorang bermain dengan
simbol agama, maka kita akan menganggapnya sebagai bagian dari komedi. Mungkin
kita lupa, bahwa dakwah bukanlah komedi. Dakwah seharusnya bisa menjadi
tuntunan hidup, bukan sekedar tontonan.