Jumat, 23 Mei 2014

"Agama Dianggap Sesuatu yang Remeh-temeh"



Pada masa lalu, agama dianggap sebagai sesuatu yang amat sakral. Agama menjadi hal yang begitu penting dan sangat dijunjung tinggi oleh setiap penganutnya. Kebutuhan manusia terhadap agama adalah sesuatu yang inheren dalam dirinya. Agama menjadi tuntunan hidup yang mengarahkan setiap pemeluknya menjadi lebih santun dan beradab.
Namun, agaknya dalam era modernisasi seperti saat ini, ilmu pengetahuan dan teknologi telah menggeser posisi agama dalam batas-batas tertentu. Pasca jatuhnya orde baru, perkembangan media di Indonesia menjadi sangat pesat.  Salah satunya adalah media televisi yang berlomba-lomba menyajikan tayangan yang menarik bagi khalayak. Umat Islam pun tidak luput dari sasaran media televisi.
Salah satu cara untuk menarik pemirsa dari kalangan Muslim adalah dengan menghadirkan program dakwah di televisi. Kini, hampir setiap televisi memiliki program dakwahnya masing-masing. Demi mempertahankan penonton agar tidak berpindah ke channel lain, maka sajian dakwah pun dikemas sedemikian rupa dengan menghadirkan unsur hiburan agar terlihat tidak kaku dan segar. Sehingga kemudian muncullah istilah baru dalam dakwah, yaitu “dakwahtainment” atau dakwah yang “menghibur.”
Kehadiran agama dalam suatu program di televisi di satu sisi memberikan kesempatan bagi para pemeluknya untuk mengenal agamanya lebih dekat. Dakwah di televisi memungkinkan para ulama untuk dapat menyampaikan ajaran agama kepada masyarakat yang lebih luas. Namun, di balik semua itu, muncul keprihatinan terkait konsep dakwahteinment yang berkembang saat ini, yang lebih mengarah pada tontonan daripada tuntunan.
Mengingat konsep dakwahtainment adalah perpaduan antara dakwah dan entertainment, maka sangat jelas jika unsur “hiburan” tidak bisa dipisahkan dari dakwah. Maka, kemudian dihadirkanlah orang-orang yang mampu berdakwah sekaligus menghibur. Hal ini menjadi penting, karena dalam tayangan dakwah tersebut harus ada “sesuatu” yang membuat penonton tidak berpindah pada channel yang lain.
Tuntutan untuk mendapatkan seorang juru dakwah sekaligus penghibur, pada akhirnya mengantarkan kita pada kemunculan ustadz-ustadz baru yang dalam bahasa trend-nya disebut ustadz gaul. Televisi tidak bisa jauh dari dunia entertain, maka jika diperhatikan tipikal ustadz gaul ini adalah mereka yang secara fisik menarik, pandai melucu, kocak, bisa menyanyi dan berpantun. Tidak ada yang salah dengan semua ini. Namun, yang perlu dikhawatirkan adalah jika para ustadz ini kemudian tidak lagi terlihat sebagai pendakwah, namun lebih kepada “penghibur.”
Televisi menggenjot para ustadz gaul tersebut untuk menaikkan rating iklan, yang membuat untung besar bagi pengelola televisi. Bahkan untuk membuat penonton makin penasaran dan makin menyukai Sang Ustadz, maka sisi kehidupannya pun diekspos. Hingga kini, seorang ustadz yang tampil di layar  kaca tak ubahnya seperti seorang selebritis.
Agama yang dulu dianggap sebagai tuntunan, kini dipandang hanya sekedar tontonan. Pengajian beberapa tahun lalu yang masih dihadiri banyak orang, tidak peduli siapa penceramahnya yang penting bisa mendengarkan dan memahami isinya sudah sangat cukup bagi masyarakat. Kini, pengajian bisa ditonton di televisi, sehingga masyarakat tidak perlu datang ke masjid-masjid untuk mengkaji ilmu agama. Praktis memang, namun sekarang orang menonton pengajian hanya sebatas suka pada penampilan, gaya, bahkan lelucon ustadz-nya saja tanpa memahami substansi dakwahnya. 
Perbedaan antara tuntunan dan tontonan dalam dakwah semakin transparan. Dakwahteinment yang belakangan lebih terlihat sebagai acara entertain dibanding acara dakwah dalam pandangan Dicky Sofyan, Ph.D (2013) telah mengantarkan kita pada The Trivialization of Religion atau pendangkalan agama. Dimana agama dianggap sebagai sesuatu yang remeh-temeh.
Dalam bukunya Agama dan televisi di Indonesia; Etika Seputar Dakwahtainment, Dicky Sofyan menyebutkan bahwa pendangkalan itu terjadi karena dakwah seringkali mengorbankan substansi pesan religius. Hal ini semakin ironis dengan disertakannya para pelawak dalam acara dakwah, yang membuat kesan bahwa dakwah hanya sekedar banyolan. Hal ini semakin terlihat jelas dengan hadirnya pertanyaan-pertanyaan jamaah yang hanya berputar pada sisi syariat (fiqih) yang itu-itu saja, dan menganggap bahwa agama adalah soal halal haram saja.
Terlau banyak humor dalam acara dakwah membuatnya semakin mirip dengan acara komedi. Kebiasaan kita tertawa dalam dakwah akan mempengaruhi cara pandang terhadap agama itu. Padahal agama yang dalam istilah Durkheim sebagai sesuatu yang scared (suci) kini terlihat menjadi sesuatu yang profane (biasa). Sehingga ketika seseorang bermain dengan simbol agama, maka kita akan menganggapnya sebagai bagian dari komedi. Mungkin kita lupa, bahwa dakwah bukanlah komedi. Dakwah seharusnya bisa menjadi tuntunan hidup, bukan sekedar tontonan.

Selasa, 20 Mei 2014

Kapan SBY Canangkan Gerakan Peduli Anak?



Gencarnya pemberitaan kasus pelecehan seksual terhadap anak menjadi hal yang sangat memprihatinkan khususnya di Indonesia dewasa ini. Anak adalah generasi penerus bangsa serta pemegang kendali masa depan suatu negara. Pelecehan seksual terhadap anak perlu mendapatkan perhatian serius, mengingat akibat dari hal tersebut membuat anak mengalami trauma yang berkepanjangan dan memicu munculnya efek “vampire.”
Menurut salah seorang psikolog di Rumah Sakit Awal Bros Pekanbaru, dr. Sari Matualesy, yang dimaksud efek “vampire” adalah anak korban pelecehan seksual tersebut berkemungkinan besar melakukan tindakan serupa di kemudian hari. Artinya, setiap anak yang pernah mengalami pelecehan seksual berkemungkinan besar berbuat hal yang sama saat dewasa dan akan mengintai korban-korban baru.
Hal ini terjadi akibat trauma korban yang tidak ditangani secara tepat. Berdasarkan kasus yang terjadi di Indonesia, pelecehan seksual tersebut seringkali dilakukan oleh orang terdekat, atau orang yang dikenal korban. Sehingga, trauma tersebut sulit untuk dihilangkan dari pikiran korban.
Ketua Komnas Perlindungann Anak, Arist Merdeka Sirait menyatakan bahwa kejahatan seksual yang terjadi sekarang ini sedang mengancam dunia anak. Hal ini perlu ditangani secara serius oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya pemerintah. Menurutnya, situasi kejahatan seksual terhadap anak sudah sangat darurat.
Kekerasan seksual terhadap anak memang harus diwaspadai oleh orang tua. Bukan tanpa alasan, dampak psikologis terhadap korban akan sangat berpengaruh bagi kehidupannya. Anak akan memiliki pikiran negatif, sehingga emosinya perlu dikelola dengan baik. Ia akan cenderung berpikir negatif, karena pelecehan yang dialami menjadi pengalaman seks pertama bagi anak.
Anak-anak merupakan manusia yang masih lugu dan polos sehingga mereka rentan menjadi korban kekerasan dan kejahatan. Akibat paling nyata dari tindak kekerasan seksual pada anak balita dan anak usia sekolah adalah adanya regresi atau perkembangannya menjadi mundur. Bila tidak mendapat penanganan yang tepat, hal itu dapat menggerogoti kesehatan mental anak.
Hukuman Kebiri bagi Pelaku
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan harus ada pemberatan hukum untuk memberi efek jera dan memutus mata rantai kejahatan seksual. Di samping hukuman penjara sampai hukuman mati, harus ada hukuman tambahan yang berdampak sosial yang berupa kebiri suntik antiandrogen. Seperti yang telah diterapkan dibeberapa negara maju, antara lain; Jerman, Korea Selatan, dan Rusia.
Suntik antiandrogen adalah salah satu bentuk kebiri secara kimia dengan cara memasukkan bahan kimia antiandrogen ke dalam tubuh melalui suntikan atau pil. Antiandrogen ini berfungsi melemahkan hasrat seksual orang tersebut.
Peduli pada Anak-anak
Presiden SBY sangat marah dan terkejut setelah mendengar kejadian kekerasan seksual terhadap anak yang mecuat akhir-akhir ini. Menurutnya, misi kepedulian terhadap anak harus menjadi sebuah gerakan, bukan hanya sekedar kebijakan pemerintah. Yang paling tahu tentang kondisi anak adalah keluarganya, sehingga kewaspadaan, kepedulian, dan pengawasan harus masuk pada komunitas paling kecil.
Maraknya kasus kekerasan seksual pada anak ini harus menjadi pelajaran bagi orang tua untuk mengajarkan anak menghargai tubuhnya sendiri. Selain itu, kepada korban pelecehan seksual ini perlu ditanamkan nilai religius dan diberikan perhatian yang cukup. Jangan biarkan anak menghayati pengalaman pahit itu. Jika tidak, sangat mungkin kelak ia akan meniru tindakan tersebut.
Selanjutnya, orang tua juga perlu melakukan konseling bagaimana menangani anak korban pelecehan seksual. Butuh kesabaran dan ketelatenan untuk menumbuhkan kembali rasa percaya diri pada anak. Dukungan dan kepedulian keluarga untuk menciptakan rasa aman pada anak sangat penting, terlebih agar anak tidak dikucilkan dari lingkungannya. Tentu saja kita semua berharap kapan kepedulian terhadap anak dicanangkan oleh Pak SBY?

Selasa, 13 Mei 2014

Memperingati Hari Buruh Internasional: Bekerja atau Menuntut?


Bekerja adalah kewajiban setiap orang, baik muslim maupun non muslim. Sebagai umat muslim, setiap pekerjaan yang baik akan dilakukan dengan mengharap ridho Allah.
Bekerja adalah fitrah yang sekaligus merupakan salah satu identitas manusia, sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip tauhid, bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai ‘abdullah (hamba Allah), yang mengelola alam semesta.
Apabila bekerja itu adalah fitrah manusia, maka jelaslah bahwa manusia yang enggan bekerja, malas dan tidak mau mendayagunakan seluruh potensi itu menentang fitrahnya sendiri. Bahkan menurunkan derajatnya sebagai hammba Allah yang mulia.
Islam menempatkan budaya kerja bukan hanya sekedar sisipan atau perintah sambil lalu, tetapi menempatkannya sebagai tema sentral dalam pembangunan umat. Bekerja dalam takaran agama Islam adalah sama dengan pernyataan syukur kepada Sang Pencipta, bahkan bekerja adalah setara dengan berjuang fisabilillah.
Bekerja untuk mencari karunia Allah, menjebol kemiskinan, meningkatkan taraf hidup dan martabat serta harga diri merupakan nilai ibadah yang esensial. Konotasi dan pengertian bekerja hendaknya jangan ditafsirkan sebagai penerima upah tanpa memiliki prestasi apapun.  Sejatinya, bekerja adalah segala aktivitas dinamis yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani). Dan di dalam mencapai tujuan tersebut seorang pekerja berupaya dengan  penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang terbaik sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah.
Hampir di setiap sudut kehidupan, kita akan menyaksikan begitu banyak orang yang bekerja. Mulai dari salesman yang hilir mudik menawarkan barang dagangannya, guru yang tekun berdiri di depan kelas untuk menyalurkan ilmunya, polisi yang mengatur lalu lintas di tengah hujan bahkan sengatan terik matahari, serta segudang profesi lainnya.
Walau demikian, tidak semua aktivitas manusia dapat dikategorikan sebagai bentuk pekerjaan. Karena di dalam makna pekerjaan terkandung tiga aspek yang harus dipenuhinya secara nalar. Pertama, aktivitas yang dilakukan berdasarkan dorongan tanggung jawab (motivasi). Kedua, kegiatan tersebut dilakukan atas dasar kesengajaan. Terakhir, apa yang dilakukannya mengandung arah dan tujuan yang luhur.
Islam tidak hanya agama langit, tetapi sekaligus agama yang membumi. Itulah sebabnya, penghargaan Islam terhadap budaya kerja bukan hanya sekedar pajangan alegoris, penghias retorika, pemanis bahan pidato, yang indah dalam pernyataan tetapi kosong dalam kenyataan.
Menurut Quraish Shihab, ibadah adalah kerja dan kerja adalah ibadah. Tetapi perlu diingat bahwa kerja atau amal yang dituntut-Nya bukan asal kerja, tetapi kerja yang saleh atau amal saleh.  Namun demikian, kita harus mau merubah cara pandang kita tentang pekerjaan, bahwa tidak semua pekerjaan itu  bernilai ibadah, misalnya, bekerja sebagai “pekerja dunia malam.”
Ibadah itu adalah hal yang sifatnya spiritual. Tidak selamanya ibadah hanya berhubungan dengan Allah saja, tetapi ibadah juga berhubungan dengan manusia dan alam sekitar. Suatu pekerjaan akan bernilai ibadah apabila bernilai transendental dan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Pertama, pekerjaan itu harus didorong oleh niat mencari ridho Allah. Jika tidak demikian, maka pekerjaan itu tidak akan bernilai ibadah. Kedua, pekerjaan itu akan bernilai ibadah apabila berorientasi pada kualitas atau mutu. Ketiga, pekerjaan yang bernilai ibadah haruslah dikerjakan secara profesional, dalam arti harus dilengkapi dengan ketrampilan yang memadai. Terakhir, kerja itu bernilai ibadah apabila dilakukan dengan penuh kedisiplinan.
Kecenderungan Pekerja Masa Kini di Negeri Kita
Di era transformasi budaya seperti saat ini, para pekerja cenderung menonjolkan hasrat duniawi dan melupakan sisi spiritualitas, apalagi mencari ridho Allah. Hal itu terbukti dengan tuntutan buruh kepada pemerintah dan pengusaha yang disampaikan dalam rangka memperingati Hari Buruh sedunia baru-baru ini. Tuntutan itu hampir tidak bisa dinalar, pantaskah para buruh tak hentinya menuntut upah lebih kepada para pengusaha? Tambahan uang koran, pulsa, hingga parfum?