KOMUNIKASI AMPLOP DAN STATUS SOSIAL
Kita yang hidup di
tengah masyarakat Jawa, tentu sudah tidak asing lagi dengan tradisi amplopan
atau nyumbang. Sebuah tradisi yang sarat nilai gotong royong dan
solidaritas sosial. Budaya ini terasa sangat kental bahkan telah mendarah
daging bagi kehidupan masyarakat Jawa. Tradisi nyumbang merupakan wujud
solidaritas anggota masyarakat terhadap saudara, tetangga, rekan kerja, atau
anggota masyarakat lainnya yang sedang mengadakan hajatan (perayaan). Tradisi nyumbang
ini dapat juga diartikan sebagai serangkaian kegiatan dari perilaku
masyarakat Jawa yang memberikan bantuan baik dalam bentuk materiil (uang,
sembako, dan barang) maupun dalam bentuk non materiil (tenaga dan jasa) kepada
tetangga atau kerabat yang membutuhkan. Tujuan dari tradisi ini adalah untuk
meringankan beban keluarga yang mengadakan hajatan.
Tradisi nyumbang
dalam masyarakat Jawa tidak bisa terlepas dari akar kebudayaan mereka yang
cenderung bersifat guyub (kolektif) serta mementingkan kehidupan bersama
dibanding kehidupan individu (urip dhewe-dhewe). Hal tersebut terlihat
dari berbagai adat kebudayaan yang menjunjung kebersamaan seperti, gugur
gunung, sambatan, gotong royong, slametan dan lain sebagainya. Seperti kita
ketahui bersama, masyarakat Jawa hidup dalam lingkaran tradisi yang kental. Hampir setiap tahapan dan
peristiwa dalam kehidupan seseorang, memiliki makna dan selebrasinya
masing-masing. Hakikat tradisi ini adalah meringankan beban dan menjaga
solidaritas antar sesama warga masyarakat. Maka wajar bila tradisi nyumbang dalam
setiap perayaan ini tetap eksis dan bertahan selama puluhan generasi.
Pada perjalanannya, tradisi nyumbang dulu dan sekarang
pastinya mengalami banyak perkembangan. Pada zaman dulu hingga era 80’an
sumbangan masih sangat wajar jika diberikan dalam bentuk barang kebutuhan
sehari-hari seperti beras, jagung, telur, ketela serta dalam bentuk jasa.
Sumbangan yang diberikan dianggap sebagai
wujud tolong-menolong dan gotong-royong kepada sesama warga masyarakat.
Karena indikasinya hanya bersifat untuk membantu dan kerja sukarela, maka hubungan timbal
balik diantara mereka pun tidak mengikat mereka secara sosial maupun ekonomi
secara ketat. Seperti pemberian bantuan yang kemudian hanya dibalas dengan
ucapan terima kasih saja.
Tetapi biar bagaimanapun, dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam
hubungan sosialnya, orang Jawa memiliki batasan tersendiri yakni introspeksi diri
dalam pergaulan yang ditunjukan dengan sikap malu, sungkan, tahu diri dan
toleran yang merupakan moral dalam kehidupan orang Jawa. Walaupun tadinya
bentuk pertolongan hanya dilandasi oleh kepedulian dan sukarela semata, namun
pada penerapannya senantiasa akan dibalas kembali oleh orang yang menerima
bantuan tersebut. Meskipun terkadang pengembaliannya tidak sama persis, namun
semua tindakan tersebut sebisa mungkin akan dibalas sama dan akan senantiasa
diingat oleh yang memberi maupun yang menerima sumbangan tersebut.
Selain sebagai bentuk warisan tradisi budaya, tentu ada alasan lain
mengapa masyarakat Jawa terdorong untuk nyumbang? Padahal, semestinya
tradisi ini hanya akan bertahan dalam sebuah bentuk masyarakat paguyuban,
dimana solidaritasnya masih bersifat mekanistis. Anehnya, di era modernitas
seperti sekarang ini, ternyata tradisi nyumbang masih saja dapat kita temui.
Bukan saja di desa, namun juga di kota-kota besar. Setelah ditelusuri, tradisi nyumbang
ini ternyata memiliki nilai atau jaminan sosial tertentu bagi masyarakatnya. Dapat dikatakan, tradisi nyumbang
merupakan bentuk asuransi sosial yang paling sederhana dalam kehidupan.
Masyarakat bersedia nyumbang karena hal itu merupakan usaha untuk
meminimalisir dan mendistribusikan beban kehidupan mereka, khususnya untuk
menghadapi ketidak pastian hidup di masa mendatang.
Seiring kemajuan zaman, sumbangan yang tadinya berbentuk barang
beralih menjadi uang. Peralihan tersebut terutama terjadi di daerah perkotaan
yang identik dengan urban area. Peralihan bentuk sumbangan dari yang
awalnya berupa barang dan jasa menjadi uang tidak sesederhana yang kita kira.
Peralihan tersebut ternyata juga membawa perubahan terhadap nilai nyumbang itu sendiri.
Jika pada zaman dahulu orang nyumbang dengan ihklas tanpa mengharapkan
balasan apapun, hanya semata-mata karena merasa punya tanggung jawab sosial
terhadap sesama untuk saling membantu. Saat ini orang yang merasa telah nyumbang tetangga bahkan kerabat
sendiripun mengaharapkan balasan yang setimpal, bahkan lebih banyak. Begitu
juga pihak yang punya hajat, mereka mengharapkan memperoleh “keuntungan” dari
hajatan yang diselenggarakannya.
Umpamanya, ketika kita memberikan amplop yang berisi uang Rp
50.000,00 kepada tetangga X. Hal itu sama artinya bahwa amplop itu nanti akan
dikembalikan oleh X pada kita, saat kita juga menyelenggarakan sebuah hajatan.
Memang, tidak ada kontrak dan perjanjian tertulis seperti ini dalam tradisi nyumbang.
Tetapi, akan ada sanksi sosial tertentu kepada orang yang tidak memberikan timbal
balik kepada para penyumbang. Misalnya, ia akan menjadi bahan gunjingan
masyarakat, dikucilkan, dan sangat mungkin tidak akan dibantu atau hanya
sedikit undangan yang datang ketika ia mengadakan hajatan.
Ada pula fenomena karena tuntutan gengsi (agar dianggap mampu),
biasanya pemilik hajatan mengembalikannya dalam jumlah nominal yang lebih
besar. Di Solo dan beberapa daerah lain, penulis menjumpai para hadirin yang memberikan
amplop dalam sebuah acara hajatan dicatat namanya dalam buku absen, sekaligus
beserta besar sumbangannya. Hal inilah yang menjadikan nyumbang dapat
disebut sebagai mini risk insurance dalam kehidupan sosial masyarakat.
Berbagai peralihan ini membuat fenomena nyumbang yang ada kini seolah tersudutkan dengan berbagi streotipe
negatif yang melekat padanya. Keharusan untuk nyumbang dengan nominal uang tertentu karena gengsi, apalagi sudah
diberi undangan dan tonjokan/ater-ater (si
empunya hajat mengirim sejumlah makanan terlebih dahulu) membuat fenomena nyumbang disebut-sebut sebagai fenomena
yang membawa kesengsaraan saja, merugikan, dan lain-lain.
Saat ini tradisi nyumbang telah mengalami pergeseran nilai.
Pertama, makna tradisi nyumbang telah berubah wajah menjadi semakin
kapitalis. Hajatan beserta tradisi nyumbang-nya, menjadi ladang untuk
mengakumulasi modal bagi pemilik hajat. Sementara itu, bagi anggota masyarakat
yang lain, nyumbang justru menambah beban ekonomi di tengah masa sulit
seperti saat ini. Nyumbang yang dulu berdasar atas asas suka dan rela,
sekarang bergeser pada usaha pengumpulan materi atau tepatnya uang. Sebab,
tenda dan makanan untuk hajatan yang dahulu bisa dibuat dan menjadi sarana
gotong royong, sekarang diserahkan kepada bisnis persewaan dan catering.
Akibatnya, tetangga yang sebenarnya hanya mampu menyumbang tenaga dan pikiran,
terpaksa harus menyumbang uang. Ada pula undangan yang di dalamnya digambar
"kendi", yang secara simbolik bermakna "hanya menerima sumbangan
dalam bentuk uang". Artinya, pemilik hajat sudah menentukan bentuk bantuan
yang seharusnya bersifat suka rela ini. Tak pelak, tradisi nyumbang
menjadi ajang untuk mencari untung.
Di masyarakat kota kepentingan uang dan prestise lebih kentara
lagi. Para pengundang resepsi kadang-kadang tak malu-malu mencamtumkan kata
“tanpa mengurangi rasa hormat, jika tanda kasih tidak diwujudkan dalam bentuk
barang”. Kalimat ini secara tidak langsung bermaksud pengundang tidak mau
diberi sumbangan barang, melainkan disumbang dalam bentuk uang.
Kedua, tradisi nyumbang ternyata menjadi beban ekonomi yang
semakin nyata pada bulan-bulan tertentu. Sebab, dalam tradisi Jawa, terdapat
mangsa tertentu yang memiliki aspek mitos yang kuat dan diyakini pengaruhnya
oleh sebagian besar masyarakat. Semisal, dipercaya ada bulan yang baik untuk
hajatan tertentu, dan ada bulan yang akan mendatangkan petaka atau
ketidakberuntungan jika dilakukan perayaan. Akibatnya, pada bulan-bulan yang
dianggap "baik" itu, undangan untuk menghadiri hajatan bisa menumpuk
sangat banyak. Semakin luas relasi seseorang, maka akan semakin banyak
kemungkinan ia menerima undangan.
Bagi orang kaya, hal ini tentu tidak menjadi masalah, namun bagi
masyarakat ekonomi menengah atau miskin, banyaknya undangan hajatan itu bisa
mengguncang perekonomian rumah tangga mereka. Untuk menutup kebutuhan
sehari-hari saja sulit, belum lagi untuk biaya pendidikan anak, masih harus
ditambah lagi dengan biaya nyumbang tadi. Maka tidak heran, jika kita
jumpai ibu-ibu yang rela hutang sana-sini, untuk sekedar modal nyumbang.
Tradisi yang seharusnya meringankan beban masyarakat itu, kini telah menjadi
"kewajiban sosial" yang memaksa dan "mencekik" leher, meski
dilakukan secara halus dan sopan.
Hal lain yang menurut saya unik adalah ketika ada kawan yang
melangsungkan hajatan kita tidak diundang, seringkali kita merasa ditinggalkan.
Namun ketika menerima undangan, tak jarang kita mengeluh, apalagi kalau
undangan yang datang jumlahnya banyak. Karena hal ini berarti harus mengeluarkan
budget ekstra.
Bagaimana reaksi masyarakat? Saya tidak habis pikir, ketika
sebagian besar masyarakat banyak mengeluh, namun masih saja tidak mampu untuk
menghindar. Menjadi dilematis, karena jika tradisi ini diikuti akan terasa
berat, tapi jika ditinggalkan akan kehilangan jaminan sosial.
Sumbangan berupa amplop sudah menjadi ukuran status sosial. Semakin
besar nilai uang di dalam amplop semakin tinggi pula statusnya. Yang menyumbang
banyak lain ststusnya dengan yang menyumbang sedikit. Manusia kita lebih suka menilai dari total
rupiah yang dikeluarkan. Sedikit banyak tentu karena gengsi, agar tidak
memalukan.
Tak jarang acara resepsi pernikahan malah justru menjadi lahan
pengeruk rupiah dari tamu yang diundang.
Masyarakat kita seakan berlomba mengadakan pesta yang wah, dengan
menyebar undangan sebanyak-banyaknya,
bahkan tak jarang kepada orang yang tak dikenal. Harapannya tentu saja untuk
dapat menngembalikan modal pesta tersebut. Sangat disesalkan ketika budaya kondangan
plus amplop (baca: nyumbang) ini bukan lagi sebagai sarana mempererat kekeluargaan tetapi justru
menjadi sarana mengeruk keuntungan. Nilai kekeluargaan diganti dengan nilai
ekonomi kapitalis, seolah semuanya bisa diukur dengan uang.
Namun, itu semua adalah bagian dari tradisi masyarakat yang secara
turun-temurun diwariskan oleh generasi berikutnya. Tiap-tiap daerah punya cara
yang berbeda dalam melaksanakan tradisi nyumbang. Itulah bagian dari
sosialisasi kemasyarakatan yang kental dengan nuansa tradisional yang
menjunjung tinggi makna kebersamaan, toleransi, tepo seliro, guyub
rukun, mikul dhuwur pendem jero, dan lain sebagainya. Semua itu
adalah aturan tidak tertulis yang harus ditaati semua individu. Tradisi sudah
mengakar kuat dan rasanya sangat tidak mungkin untuk dirubah. Lalu bagaimana
kita menghadapi hal ini?
Semua berpulang pada pribadi dan individu masing-masing. Menentukan
sikap diri adalah hal yang bijaksana daripada melawan arus secara frontal.
Sudut pandang kita sendirilah yang nantinya akan berbicara. Dan tentu saja,
kita harus berani menghadapi resiko yang akan kita hadapi atas semua kebijakan
dan sikap yang kita ambil. Oleh karena itu, percayalah pada hati nurani Anda
sendiri, bukan omongan orang lain.
Referensi :
Sedyawati Edi, 2003 :
Budaya Jawa dan Masyarakat Modern. Jakarta: BPPT Press
Suratno
P, H. Astiyanto, 2009 : Gustiorasaré: 90 mutiara kearifan
budaya jawa. Yogyakarta: Adiwacana.
Sutrisno Slamet, 1985: Sorotan Budaya Jawa Dan Yang Lainnya. Yogyakarta:
ANDI OFFSET
MAAF SAY NUMPANG PROMO HARGA SPESIAL TERBARU 2015 BERBAGAI MACAN MEREK HENDPHONE>SAMSUNG>BLACKBERRYNOKIA>ASUS>LENOVO>ADVAN>SMARTFREN>OPPO>ACER>TOSHIBA>NIKON>DELL>CANON>XIOMI>DLL TERPERCAYA>100% BEBAS RESIKO BEBAS PENIPUAN (Info Pemesanan)CALL/SMS:085757299675>PIN BBM: (24C4A399) WEB>WWW.NABILA-SAIRA-SHOP.BLOGSPOT.COM
BalasHapus