Kamis, 06 Maret 2014

Komunikasi "Amplop"


KOMUNIKASI AMPLOP DAN STATUS SOSIAL

            Kita yang hidup di tengah masyarakat Jawa, tentu sudah tidak asing lagi dengan tradisi amplopan atau nyumbang. Sebuah tradisi yang sarat nilai gotong royong dan solidaritas sosial. Budaya ini terasa sangat kental bahkan telah mendarah daging bagi kehidupan masyarakat Jawa. Tradisi nyumbang merupakan wujud solidaritas anggota masyarakat terhadap saudara, tetangga, rekan kerja, atau anggota masyarakat lainnya yang sedang mengadakan hajatan (perayaan). Tradisi nyumbang ini dapat juga diartikan sebagai serangkaian kegiatan dari perilaku masyarakat Jawa yang memberikan bantuan baik dalam bentuk materiil (uang, sembako, dan barang) maupun dalam bentuk non materiil (tenaga dan jasa) kepada tetangga atau kerabat yang membutuhkan. Tujuan dari tradisi ini adalah untuk meringankan beban keluarga yang mengadakan hajatan.
            Tradisi nyumbang dalam masyarakat Jawa tidak bisa terlepas dari akar kebudayaan mereka yang cenderung bersifat guyub (kolektif) serta mementingkan kehidupan bersama dibanding kehidupan individu (urip dhewe-dhewe). Hal tersebut terlihat dari berbagai adat kebudayaan yang menjunjung kebersamaan seperti, gugur gunung, sambatan, gotong royong, slametan dan lain sebagainya. Seperti kita ketahui bersama, masyarakat Jawa hidup dalam lingkaran tradisi  yang kental. Hampir setiap tahapan dan peristiwa dalam kehidupan seseorang, memiliki makna dan selebrasinya masing-masing. Hakikat tradisi ini adalah meringankan beban dan menjaga solidaritas antar sesama warga masyarakat. Maka wajar bila tradisi nyumbang dalam setiap perayaan ini tetap eksis dan bertahan selama puluhan generasi.
Pada perjalanannya, tradisi nyumbang dulu dan sekarang pastinya mengalami banyak perkembangan. Pada zaman dulu hingga era 80’an sumbangan masih sangat wajar jika diberikan dalam bentuk barang kebutuhan sehari-hari seperti beras, jagung, telur, ketela serta dalam bentuk jasa. Sumbangan yang diberikan dianggap sebagai  wujud tolong-menolong dan gotong-royong kepada sesama warga masyarakat. Karena indikasinya hanya bersifat untuk membantu  dan kerja sukarela, maka hubungan timbal balik diantara mereka pun tidak mengikat mereka secara sosial maupun ekonomi secara ketat. Seperti pemberian bantuan yang kemudian hanya dibalas dengan ucapan terima kasih saja.
Tetapi biar bagaimanapun, dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam hubungan sosialnya, orang Jawa memiliki batasan tersendiri yakni introspeksi diri dalam pergaulan yang ditunjukan dengan sikap malu, sungkan, tahu diri dan toleran yang merupakan moral dalam kehidupan orang Jawa. Walaupun tadinya bentuk pertolongan hanya dilandasi oleh kepedulian dan sukarela semata, namun pada penerapannya senantiasa akan dibalas kembali oleh orang yang menerima bantuan tersebut. Meskipun terkadang pengembaliannya tidak sama persis, namun semua tindakan tersebut sebisa mungkin akan dibalas sama dan akan senantiasa diingat oleh yang memberi maupun yang menerima sumbangan tersebut.
Selain sebagai bentuk warisan tradisi budaya, tentu ada alasan lain mengapa masyarakat Jawa terdorong untuk nyumbang? Padahal, semestinya tradisi ini hanya akan bertahan dalam sebuah bentuk masyarakat paguyuban, dimana solidaritasnya masih bersifat mekanistis. Anehnya, di era modernitas seperti sekarang ini, ternyata tradisi nyumbang masih saja dapat kita temui. Bukan saja di desa, namun juga di kota-kota besar. Setelah ditelusuri, tradisi nyumbang ini ternyata memiliki nilai atau jaminan sosial tertentu  bagi masyarakatnya. Dapat dikatakan, tradisi nyumbang merupakan bentuk asuransi sosial yang paling sederhana dalam kehidupan. Masyarakat bersedia nyumbang karena hal itu merupakan usaha untuk meminimalisir dan mendistribusikan beban kehidupan mereka, khususnya untuk menghadapi ketidak pastian hidup di masa mendatang.
Seiring kemajuan zaman, sumbangan yang tadinya berbentuk barang beralih menjadi uang. Peralihan tersebut terutama terjadi di daerah perkotaan yang identik dengan urban area. Peralihan bentuk sumbangan dari yang awalnya berupa barang dan jasa menjadi uang tidak sesederhana yang kita kira. Peralihan tersebut ternyata juga membawa perubahan  terhadap nilai nyumbang itu sendiri. Jika pada zaman dahulu orang nyumbang dengan ihklas tanpa mengharapkan balasan apapun, hanya semata-mata karena merasa punya tanggung jawab sosial terhadap sesama untuk saling membantu. Saat ini orang yang merasa telah nyumbang tetangga bahkan kerabat sendiripun mengaharapkan balasan yang setimpal, bahkan lebih banyak. Begitu juga pihak yang punya hajat, mereka mengharapkan memperoleh “keuntungan” dari hajatan yang diselenggarakannya.
Umpamanya, ketika kita memberikan amplop yang berisi uang Rp 50.000,00 kepada tetangga X. Hal itu sama artinya bahwa amplop itu nanti akan dikembalikan oleh X pada kita, saat kita juga menyelenggarakan sebuah hajatan. Memang, tidak ada kontrak dan perjanjian tertulis seperti ini dalam tradisi nyumbang. Tetapi, akan ada sanksi sosial tertentu kepada orang yang tidak memberikan timbal balik kepada para penyumbang. Misalnya, ia akan menjadi bahan gunjingan masyarakat, dikucilkan, dan sangat mungkin tidak akan dibantu atau hanya sedikit undangan yang datang ketika ia mengadakan hajatan.
Ada pula fenomena karena tuntutan gengsi (agar dianggap mampu), biasanya pemilik hajatan mengembalikannya dalam jumlah nominal yang lebih besar. Di Solo dan beberapa daerah lain, penulis menjumpai para hadirin yang memberikan amplop dalam sebuah acara hajatan dicatat namanya dalam buku absen, sekaligus beserta besar sumbangannya. Hal inilah yang menjadikan nyumbang dapat disebut sebagai mini risk insurance dalam kehidupan sosial masyarakat.
Berbagai peralihan ini membuat fenomena nyumbang yang ada kini seolah tersudutkan dengan berbagi streotipe negatif yang melekat padanya. Keharusan untuk nyumbang dengan nominal uang tertentu karena gengsi, apalagi sudah diberi undangan dan tonjokan/ater-ater (si empunya hajat mengirim sejumlah makanan terlebih dahulu) membuat fenomena nyumbang disebut-sebut sebagai fenomena yang membawa kesengsaraan saja, merugikan, dan lain-lain.
Saat ini tradisi nyumbang telah mengalami pergeseran nilai. Pertama, makna tradisi nyumbang telah berubah wajah menjadi semakin kapitalis. Hajatan beserta tradisi nyumbang-nya, menjadi ladang untuk mengakumulasi modal bagi pemilik hajat. Sementara itu, bagi anggota masyarakat yang lain, nyumbang justru menambah beban ekonomi di tengah masa sulit seperti saat ini. Nyumbang yang dulu berdasar atas asas suka dan rela, sekarang bergeser pada usaha pengumpulan materi atau tepatnya uang. Sebab, tenda dan makanan untuk hajatan yang dahulu bisa dibuat dan menjadi sarana gotong royong, sekarang diserahkan kepada bisnis persewaan dan catering. Akibatnya, tetangga yang sebenarnya hanya mampu menyumbang tenaga dan pikiran, terpaksa harus menyumbang uang. Ada pula undangan yang di dalamnya digambar "kendi", yang secara simbolik bermakna "hanya menerima sumbangan dalam bentuk uang". Artinya, pemilik hajat sudah menentukan bentuk bantuan yang seharusnya bersifat suka rela ini. Tak pelak, tradisi nyumbang menjadi ajang untuk mencari untung.
Di masyarakat kota kepentingan uang dan prestise lebih kentara lagi. Para pengundang resepsi kadang-kadang tak malu-malu mencamtumkan kata “tanpa mengurangi rasa hormat, jika tanda kasih tidak diwujudkan dalam bentuk barang”. Kalimat ini secara tidak langsung bermaksud pengundang tidak mau diberi sumbangan barang, melainkan disumbang dalam bentuk uang.
Kedua, tradisi nyumbang ternyata menjadi beban ekonomi yang semakin nyata pada bulan-bulan tertentu. Sebab, dalam tradisi Jawa, terdapat mangsa tertentu yang memiliki aspek mitos yang kuat dan diyakini pengaruhnya oleh sebagian besar masyarakat. Semisal, dipercaya ada bulan yang baik untuk hajatan tertentu, dan ada bulan yang akan mendatangkan petaka atau ketidakberuntungan jika dilakukan perayaan. Akibatnya, pada bulan-bulan yang dianggap "baik" itu, undangan untuk menghadiri hajatan bisa menumpuk sangat banyak. Semakin luas relasi seseorang, maka akan semakin banyak kemungkinan ia menerima undangan.
Bagi orang kaya, hal ini tentu tidak menjadi masalah, namun bagi masyarakat ekonomi menengah atau miskin, banyaknya undangan hajatan itu bisa mengguncang perekonomian rumah tangga mereka. Untuk menutup kebutuhan sehari-hari saja sulit, belum lagi untuk biaya pendidikan anak, masih harus ditambah lagi dengan biaya nyumbang tadi. Maka tidak heran, jika kita jumpai ibu-ibu yang rela hutang sana-sini, untuk sekedar modal nyumbang. Tradisi yang seharusnya meringankan beban masyarakat itu, kini telah menjadi "kewajiban sosial" yang memaksa dan "mencekik" leher, meski dilakukan secara halus dan sopan.
Hal lain yang menurut saya unik adalah ketika ada kawan yang melangsungkan hajatan kita tidak diundang, seringkali kita merasa ditinggalkan. Namun ketika menerima undangan, tak jarang kita mengeluh, apalagi kalau undangan yang datang jumlahnya banyak. Karena hal ini berarti harus mengeluarkan budget ekstra.
Bagaimana reaksi masyarakat? Saya tidak habis pikir, ketika sebagian besar masyarakat banyak mengeluh, namun masih saja tidak mampu untuk menghindar. Menjadi dilematis, karena jika tradisi ini diikuti akan terasa berat, tapi jika ditinggalkan akan kehilangan jaminan sosial.
Sumbangan berupa amplop sudah menjadi ukuran status sosial. Semakin besar nilai uang di dalam amplop semakin tinggi pula statusnya. Yang menyumbang banyak lain ststusnya dengan yang menyumbang sedikit.  Manusia kita lebih suka menilai dari total rupiah yang dikeluarkan. Sedikit banyak tentu karena gengsi, agar tidak memalukan.
Tak jarang acara resepsi pernikahan malah justru menjadi lahan pengeruk rupiah dari tamu yang diundang.  Masyarakat kita seakan berlomba mengadakan pesta yang wah, dengan menyebar undangan  sebanyak-banyaknya, bahkan tak jarang kepada orang yang tak dikenal. Harapannya tentu saja untuk dapat menngembalikan modal pesta tersebut. Sangat disesalkan ketika budaya kondangan plus amplop (baca: nyumbang) ini bukan lagi sebagai  sarana mempererat kekeluargaan tetapi justru menjadi sarana mengeruk keuntungan. Nilai kekeluargaan diganti dengan nilai ekonomi kapitalis, seolah semuanya bisa diukur dengan uang.
Namun, itu semua adalah bagian dari tradisi masyarakat yang secara turun-temurun diwariskan oleh generasi berikutnya. Tiap-tiap daerah punya cara yang berbeda dalam melaksanakan tradisi nyumbang. Itulah bagian dari sosialisasi kemasyarakatan yang kental dengan nuansa tradisional yang menjunjung tinggi makna kebersamaan, toleransi, tepo seliro, guyub rukun, mikul dhuwur pendem jero, dan lain sebagainya. Semua itu adalah aturan tidak tertulis yang harus ditaati semua individu. Tradisi sudah mengakar kuat dan rasanya sangat tidak mungkin untuk dirubah. Lalu bagaimana kita menghadapi hal ini?
Semua berpulang pada pribadi dan individu masing-masing. Menentukan sikap diri adalah hal yang bijaksana daripada melawan arus secara frontal. Sudut pandang kita sendirilah yang nantinya akan berbicara. Dan tentu saja, kita harus berani menghadapi resiko yang akan kita hadapi atas semua kebijakan dan sikap yang kita ambil. Oleh karena itu, percayalah pada hati nurani Anda sendiri, bukan omongan orang lain.


Referensi :
Sedyawati Edi, 2003 : Budaya Jawa dan Masyarakat Modern. Jakarta: BPPT Press

Suratno P, H. Astiyanto, 2009 : Gustiorasaré: 90 mutiara kearifan budaya jawa. Yogyakarta: Adiwacana.

Sutrisno Slamet, 1985: Sorotan Budaya Jawa Dan Yang Lainnya. Yogyakarta: ANDI OFFSET

1 komentar:

  1. MAAF SAY NUMPANG PROMO HARGA SPESIAL TERBARU 2015 BERBAGAI MACAN MEREK HENDPHONE>SAMSUNG>BLACKBERRYNOKIA>ASUS>LENOVO>ADVAN>SMARTFREN>OPPO>ACER>TOSHIBA>NIKON>DELL>CANON>XIOMI>DLL TERPERCAYA>100% BEBAS RESIKO BEBAS PENIPUAN (Info Pemesanan)CALL/SMS:085757299675>PIN BBM: (24C4A399) WEB>WWW.NABILA-SAIRA-SHOP.BLOGSPOT.COM

    BalasHapus