Rabu, 27 Agustus 2014

Mahasiswa Tak Sekedar Status



Masa transisi dari status siswa menjadi mahasiswa, adalah masa yang membuat pemikiran para mahasiswa baru dipenuhi rasa ingin tahu yang besar. Tak sedikit pertanyaan timbul dalam benak mereka mengenai bangku perkuliahan ini. Karena pada saat duduk di perguruan tinggi banyak hal yang berbeda dari jenjang pendidikan yang telah ditempuh selama ini.
Tak sama seperti saat SD, SMP, dan SMA, ketika kuliah kita akan mendapat pelajaran yang lebih akan tanggung jawab, kepedulian, dan pelajaran tentang menyelesaikan masalah. Semua pelajaran itu hanya bisa kita dapatkan jika kita mengalaminya dan mau belajar dari kejadian tersebut.
Sayangnya, hanya sedikit mahasiswa yang mampu memaknai kampus sebagai tempat melatih diri untuk berpikir dan bekerja dalam basis keilmuan. Serta yang mampu memilih dan memaknai hubungan antar teman dengan tidak biasa-biasa saja, bergaul di masyarakat, serta berkontribusi bagi kebaikan dirinya dan orang lain pun sedikit jumlahnya.
Hal ini terjadi karena banyak diantara kita yang kuliah untuk prestise, menjadikan kampus sebagai ajang show jauh dari nusansa akademis. Kampus bukan catwalk tempat para model berlenggak-lenggok. Di sini tempat tempat orang-orang yang ingin mengilmui ilmunya. Kampus bukan mall tempat anak muda nongkrong. Di sini tempat para dosen mendidik bukan sekedar mengajar apalagi mengumpulkan “recehan” lewat berbagai proyek dan mengabaikan mahasiswa.
Status sebagai mahasiswa memang membanggakan. Karena, menurut sebagian besar masyarakat mahasiswa adalah sosok yang serba bisa, selalu update dengan persoalan yang muncul di masyarakat, serta merupakan generasi penerus bangsa yang memiliki tingkat intelektualitas tinggi. Di mana budaya ilmiah telah mendarah daging di kehidupannya. Bahkan status agent of change yang disandangkan pun menjadikannya lebih terpandang dibandingkan dengan pemuda yang tidak bergelut dengan bangku perkuliahan.
Di manapun kita kuliah, entah di kampus terbaik maupun yang biasa, status kita tetaplah mahasiswa. Namun, yang perlu dipahami adalah mahasiswa bukan hanya sekedar status bagi orang yang duduk di bangku perkuliahan. Secara mendalam, status mahasiswa adalah sebuah tanggung jawab besar. Bagi sebagian orang status mahasiswa mungkin merubah kehidupannya. Status mahasiswa mentansformasikan cara pandang seseorang terhadap masalah menjadi lebih matang. Selain itu, kata sederhana ini mendorong seseorang untuk kritis terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Karena itulah, mahasiswa adalah pemeran utama dalam revolusi yang akan merubah bangsa ini.
Status mahasiswa yang kita sandang tidaklah ringan. Karena yang kita bawa adalah harapan dari seluruh rakyat Indonesia. Tentu tidaklah mudah mewujudkan semua harapan tersebut. Namun satu hal yang pasti bisa kita lakukan adalah belajar. Karena belajar adalah suatu awal tanpa akhir. Kita akan terus belajar untuk mendapatkan apapun yang kita inginkan. Belajar dalam konteks ini tidak lantas diartikan dalam makna yang sempit sebagai seorang mahasiswa tipe study oriented. Belajar memiliki makna yang luas karena dalam kehiduupan sehari-hari pun kita senantiasa belajar dengan atau tanpa kita sadari.
Berbagai pandangan mulia tentang mahasiswa tidak semuanya benar. Lihat saja di berbagai kampus baik negeri maupun swasta, masih banyak mahasiswa yang bersantai ria menikmati suasana. Mondar-mandir di kampus untuk jual tampang, dan sudah merasa cukup dengan menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang-kuliah-pulang), serta tidak peka terhadap lingkungan. Wabah keadaan ini datang dalam berbagai bentuk baik rasa malas, pengaruh dunia luar maupun sejuta alasan bodoh lainnya. Karena itu jangan sampai kita terjangkiti wabah mahasiswa “kopong” ini, yang terlihat baik secara fisik tapi kosong isinya.
Status mahasiswa bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda. Jadi, bukan saatnya lagi mengeluh: Aku bodoh karena ngga bisa masuk kampus X. Aku bodoh karena hanya bisa kuliah di sini. Mulailah melebarkan sayap dan mewujudkan cita-cita yang nyata. Karena tak semua insan muda berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang ini. Hal ini semestinya menjadikan mahasiswa bersemangat dan lebih aktif di kampus serta lingkungan sosial lainnya. Agar mahasiswa dapat menjadi insan yang kritis namun tetap humanis yang seyogyanya dapat menjadi penyambung lidah antara masyarakat dan pemerintah.

Selasa, 15 Juli 2014

Syukur



Syukur, kerap kali kita mendengar bahkan mengucapkan kata ini, namun tahukah kita apa makna syukur sebenarnya?
Syukur adalah kata yang berasal dari bahasa Arab. Kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai rasa terima kasih kepada Allah, dan untunglah (menyatakan lega, senang, dan sebagainya). Pengertian kebahasaan ini tidak sepenuhnya sama dengan penngertiannya menurut asal kata (etimologi) maupun menurut penggunaan Al Qur’an atau istilah keagamaan.
Dalam Al Qur’an, kata syukur dengan berbagai bentuknya ditemukan sebanyak enam puluh empat kali. Ahmad Ibnu Faris dalam bukunya Maqayis al-Lughah menyebutkan empat arti dasar dari kata tersebut, yaitu:
1.      Pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh. Hakikatnya adalah merasa ridha atau puas dengan sedikit sekalipun. Karena itu bahasa menggunakan kata ini (syukur) untuk kuda yang gemuk namun hanya membutuhkan sedikit rumput. Peribahasa juga memperkenalkan ungkapan asykar min barwaqah (lebih bersyukur dari tumbuhan barwaqah). Barwaqah adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh subur walau dengan awan mendung tanpa hujan.
2.      Kepenuhan dan kelebatan. Pohon yang tumbuh subur dilukiskan dengan kalimat syakarat asy-syajarat.
3.      Sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon (parasit).
4.      Pernikahan, atau alat kelamin.

Agaknya kedua makna yang terakhir ini dapat dikembalikan dasar pengertiannya pada kedua makna terdahulu. Makna ketiga sejalan dengan makna pertama yang menggambarkan  kepuasan dengan yang sedikit sekalipun. Sedang makna keempat sejalan dengan makna kedua, karena dengan pernikahan (alat kelamin) dapat melahirkan banyak anak.
Makna-makna dasar tersebut dapat juga diartikan sebagai penyebab dan dampaknya, sehingga kata syukur mengisyaratkan “Siapa yang merasa puas dengan yang sedikit, maka ia akan memperoleh yang banyak, lebat dan subur.”
Ar-Raghib al-Isfahani salah seorang yang dikenal sebagai pakar bahasa Al Qur’an menulis dalam al-Mufradat fi Gharib Al Qur’an, bahwa kata syukur mengandung arti gambaran dalam benak tentang nikmat  dan menampakkannya ke permukaan. Menurut beberapa ulama lain, kata syukur berasal dari kata syakara yang berarti membuka, sehingga ia merupakan lawan dari kata kafara (kufur) yang berarti menutup, (salah satu artinya adalah) melupakan nikmat dan menutup-nutupinya.
Makna yang dikemukakan para pakar di atas dapat diperkuat dengan beberapa ayat Al Qur’an yang  menghadapkan kata syukur dengan kata kufur,  antara lain dalam surat Ibrahim ayat 7:
لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku) untukkmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya adzab-Ku amat pedih.”
Demikian juga  dengan redaksi  pengakuan Nabi Sulaiman yang diabadikan Al Qur’an dalam surat An-Naml ayat 40:
هَٰذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ
“Ini adalah sebagian anugerah  Tuhan-Ku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur.”
 
Hakikat syukur adalah menampakkan nikmat, dan hakikat kufur adalah menyembunyikannya. Menaampakkan nikmat antara lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lisan.
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ                               
“Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyebut-nyebutnya.” (QS Adh-Dhuha: 11)
Nabi Muhammad SAW pun bersabda:
ان الله يحب ان يرى اثر نعمته على عبده (رواه الترميذ)
“Allah senang melihat bukti nikmat-Nya dalam penampilan hamba-Nya.” HR.Tirmidzi
Pada prinsipnya segala bentuk kesyukuran harus ditunjukkan kepada Allah SWT. Al Qur’an memerintahkan umat Islam untuk bersyukur setelah menyebut beberapa nikmat-Nya.
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula  kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al Baqarah: 152)
Dalam surat Luqman ayat 12 dinyatakan:
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَن يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ
“Dan sesugguhnya Kami telah menganugerahkan kepada Luqman hikmah, yaitu: Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri.”

Namun demikian, walaupun kesyukuran harus ditujukan kepada Allah, dan ucapan syukur yang diajarkan adalah alhamdulillah, namun ini bukan berarti bahwa kita dilarang bersyukur kepada mereka yang menjadi perantara kehadiran nikmat Allah. Al Qur’an secara tegas memerintahkan agar mensyukuri Allah dan mensykuri kedua orang tua (yang menjadi perantara kehadiran kita di dunia ini). Dalam QS Luqman ayat 14 dijelaskan:
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”
Al Qur’an secara tegas menyatakan bahwa manfaat syukur kembali kepada orang yang bbersyukur, sedang Allah sama sekali tidak memperoleh bahkan tidak membutuhkan sedikitpun dari syukur makhluk-Nya. 
Karena itu pula, manusia yang meneladani Tuhan dalam sifat-sifat-Nya, dan mencapai peringkat terpuji, adalah yang memberi tanpa menanti syukur (balasan dari yang diberi) atau ucapan terima kasih.
Al Qur’an melukiskan bagaimaana satu keluarga menurut riwayat Ali bin Abi Thalib dan istrinya Fatimah putri Rasulullah memberikan makanan yang rencananya menjadi makanan berbuka puasa mereka kepada tiga orang yang membutuhkan dan ketika itu mereka menyatakan bahwa,
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
“Sesungguhnya kami memberi makanan untukmu hanyalah untuk mengharap keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan darimu, dan tidak pula pujian (ucapan terima kasih).” (QS. Al-Insan: 9)
Syukur mencakup tiga hal, yaitu:
1.        Syukur dengan hati
Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh semata-mata karena anugerah dan kemurahan Allah, syukur dengan hati mengantarkan manusia untuk menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa menggerutu dan keberatan betapapun kecilnya nikmat tersebut. Syukur ini juga mengharuskan yang bersyukur menyadari betapa  besar kemurahan dan kasih sayang Allah sehingga terlontar dari lisannya pujian kepada Allah.
2.        Syukur dengan lisan, yaitu mengakui anugerah dan memuji pemberian Allah.
Syukur dengan lisan adalah mengakui dengan ucapan bahwa sumber nikmat adalah Allah sambil memuji-Nya. Al Qur’an seperti telah dikemukakan di atas, mengajarkan agar pujian kepada Allah disampaikan kepada Allah dengan redaksi alhamdulillah.
Hamd (pujian) disampaikan secara lisan kepada yang dipuji, walaupun ia tidak memberi apapun baik kepada si pemuji maupun kepada yang lain. Kata al pada alhamdulillah oleh pakar bahasa disebut al lil-iistighraq, yakni mengandung  arti keseluruhan. Sehingga kata alhamdu yang ditujukan kepada Allah mengandung arti bahwa yang paling berhak menerima segala pujian adalah Allah, bahkan seluruh pujian harus tertuju dan bermuara kepada-Nya.
Jika kita mengembalikan segala kepada Allah, maka itu berarti pada saat kita memeuji seseorang karena kebaikan atau kecantikannya, maka pujian tersebut pada akhirnya harus dikembalikan kepada Allah.
Di sisi lain kalau pada lahirnya ada perbuatan atau ketetapan Tuhan yang mungkin oleh kacamata manusia dinilai kurang baik, maka harus disadari bahwa penilaian tersebut adalah akibat keterbatasan manusia dalam menetapkan tolok ukur penilaiannya. Dengan demikian pasti ada sesuatu yang luput dari jangkauan pandangannya sehingga penilaiannya menjadi demikian.
3.        Syukur dengan perbuatan
Nabi Daud as beserta putranya Nabi Sulaiman as memperoleh aneka nikmat yang tiada taranya. Kepada mereka sekeluarga Allah berpesan:
اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا
“Bekerjalah  wahai keluarga Daud sebagai tanda syukur!” (QS Saba’: 13)
Yang dimaksud dengan bekerja adalah menggunakan nikmat yang diperoleh itu sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahannya. Ini berarti, setiap nikmat yang diperoleh menuntut  penerimaannya agar merenungkan tujuan dianugerahkannya nikmat tersebut oleh Allah.
Pada hakikatnya manusia tidak mampu untuk mensyukuri Allah secara sempurna, baik dalam bentuk kalimat-kalimat pujian, apalagi dalam bentuk perbuatan. Karena itu ditemukan dua ayat dalam Al Qur’an yang menunjukkan betapa orang-orang yang dekat kepada-Nya  sekalipun, tetap bermohon agar dibimbing, diilhami, dan diberi kemampuan untuk dapat mensyukuri nikmat-Nya.
وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ
“Dia berdoa, wahai Tuhanku, berilah aku ilham untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang ibu bapakku, dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai...” (QS An Naml: 19)

وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ

“Dia berdoa, wahai Tuhanku, berilah aku ilham untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang ibu bapakku, dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai...” (QS Al Ahqaf: 15)
Nabi SAW juga berdoa dan mengajarkan doa itu untuk dipanjatkan oleh umatnya,
اللّهمّ اعنّى على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك
“Wahai Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur untuk-Mu, dan beribadah dengan baik bagi-Mu.”
Permohonan tersebut sangat diperlukan, paling tidak disebabkan oleh dua hal. Pertama, manusia tidak mengetahui bagaimana cara terbaik untuk memuji Allah. Karena itu Allah mewahyukan kepada manusia untuk mengucapkan alhamdulillah sebagai tanda syukur kepada-Nya. Kedua, karena setan selalu menggoda manusia agar mereka lalai bersyukur kepada Allah. Sedikitnya makhluk Allah yang pandai bersyukur ditegaskan berkali-kali oleh Al Qur’an, seperti pada surat Al Baqarah ayat 243:
إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ
“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.”
Dalam ayat lain disebutkan:
وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Dan sedikit sekali dari hamba-hambaku yang bersyukur.” (QS. Saba’: 13)
Pada dasarnya segala nikmat yang diperoleh manusia harus disyukurinya. Nikmat diartikan oleh sementara ulama sebagai segala sesuatu yang berlebih dari modal kita. Adakah manusia memiliki sesuatu sebagai modal? Jawabannya, tidak. Bukankah hidupnya sendiri adalah anugerah dari Allah?

Syukur dilakukan kapan dan di mana saja di dunia dan akhirat. Dalam konteks syukur dalam kehidupan dunia ini, Al Qur’an menegaskan bahwa Allah menjadikan pergantian siang dan malam agar manusia menggunakan waktu tersebut untuk  merenung dan bersyukur. Segala aktivitas manusia siang dan malam hendaknya merupakan manifestasi  dari rasa syukurnya.

Demikianlah sekelumit uraian Al Qur’an tentang syukur. Kalaulah kita tidak mampu untuk masuk dalam kelompok minoritas orang-orang yang pandai bersyukur (atau dalam istilah Al Qur’an asy-syakirun, yakni orang-orang yang telah mendarah daging dalam dirinya hakikat syukur dalam ketiga sisinya; hati, lisan, dan perbuatan), maka paling tidak kita tetap harus berusaha sekuat tenaga untuk menjadi orang yang melakukan syukur seberapapun kecilnya. Sebuah kaidah keagamaan berbunyi
مالايدرك كله لايترك كله
“Sesuatu yang tidak dapat diraih seluruhnya, jangan ditinggalkan sama sekali.”