Sabtu, 15 Maret 2014

Mencontek: Penyakit Budaya yang Kronis


Mencontek, bukanlah hal baru di kalangan pelajar dan mahasiswa. Hal ini telah terjadi dan berkembang menjadi budaya bahkan mendarah daging di kalangan masyarakat kita. Budaya mencontek pada hakikatnya adalah budaya yang buruk dan harus segera dieliminir. Namun sayangnya, virus budaya ini seperti sangat sulit untuk dibasmi. Di Indonesia khususnya, budaya ini masih terus berkembang pesat mulai dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Mencontek sangat diandalkan oleh sebagaian kalangan pelajar dan mahasiswa untuk mendapatkan nilai yang lebih baik dari kemampuan yang dimilikinya. Selain itu, praktik ini dilakukan karena adanya tuntutan untuk menjawab tiap soal yang memang jawabannya berorientasi pada buku teks. Hal ini tentu menyulitkan para pelajar untuk menghafal setiap kalimatnya, sehingga mereka memilih untuk membuka buku  atau bertanya pada temannya. Hal tersebut juga dilakukan karena lemahnya pengawasan oleh para pengawas ujian. 
Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa, fenomena mencontek ini sering terjadi dalam dunia para akademisi. Karena, sudah dimaklumi bahwa orientasi belajar di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan praktik mencontek.  Hal ini erat kaitannya dengan budaya masyarakat Indonesia yang memandang nilai dan ijazah sebagai parameter tingkat kesuksesan seseorang dalam jenjang pendidikannya.
            Secara psikologis, jelas bahwa praktik mencontek ini mencermikan sikap kurang percaya diri ketika menghadapi ujian. Karena percaya diri ini muncul bersamaan dengan adanya persiapan yang matang. Dampak negatif dari praktik ini adalah menciptakan sifat tidak mandiri, mudah putus asa bahkan dapat menumbuhkan kejahatan. Secara logika, jika praktik kecurangan ini terus dipelihara maka, lambat laun akan menjadi tindak kejahatan. Tengok saja praktik mencontek yang memang dengan sengaja disusun secara sistematis, misalnya pembocoran soal ujian nasional oleh “orang dalam” atau oknum guru yang notabene adalah seorang pendidik. Ironis memang ketika seseorang yang berperan sebagai pendidik malah justru memberikan contoh yang tidak baik dengan melakukan praktik kecurangan. Parahnya lagi, seorang pelajar yang mendapatkan bocoran tersebut tidak merasamalu, malah justru bangga dengan yang ia peroleh. Umumnya praktik kecurangan ini dilakukan olehpara oknum yang nilai akademiknya kurang baik. Namun yang lebih mencengangkan adalah ketika sang juara kelas pun juga turut serta dalam praktik percontekan.Mereka melakukan hal itu dikala kurangnya persiapan ketika akan menghadapi ujian serta adanya faktor prestise yang menyebabkan mereka memiliki ambisi yang terlalu besar untuk tetap menjadi yang nomor satu.
            Menurut M. Nuh, selaku Menteri Pendidikan Nasional, beliau menyatakn bahwa budaya mencontek adalah budaya meraih prestasi instan tanpa memperhatikan moralitas. Lebih dalam lagi,  Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, salah seorang tokoh pendidikan yang sekaligus juga menjabat sebagai rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengatakan bahwa praktik mencotek adalah korupsi yang menular. Contoh nyata  yang menjamur adalah perilaku para pelajar  ketika menghadapi ujian kelulusan di jenjang pendidikan manapun. Ada  saja cara mereka untuk mencari dan mendapatkan bocoran soal bahkan secara terang-terangan mencontek hasil pekerjaan temannya demi mendapatkan jawaban yang benar serta nilai yang maksimal tanpa mau belajar keras. Bukankah hal ini merupakan perilaku korupsi? Ironisnya  tindakan ini terkadang malah justru difasilitasi oleh orang tua, kepala sekolah, atau Dinas Pendidikan demi menjaga nama baik sekolah dengan cara mempertahankan rangking tingkat kelulusan siswa, meski dengan jalan kotor. Jadi, kalau sekarang sering ditemukan pejabat publik atau anggotaDPR yang korupsi, bisa jadi itu merupakan refleksi atau kelanjutan dari kebiasaan mencontek sewaktu sekolah dulu.
            Lebih lanjut menurutnya, tanda baiknya pelaksanaan pendidikan bukan dinilai dari lulusan sarjana yang tinggi dan meningkatnya anak-anak yang masuk sekolah, melainkan meningkatnya kecerdasan emosional para pelajar untuk menuntut ilmu secara sadar dan berubahnya pola pikir  dan tingkah laku menjadi lebih baik. Hal ini menjadi penting sebab, jika seorang pelajar hanya menuntut ilmu ketika disuruh, sampai kapan pun akan tetap ikut-ikutan tanpa menguasai ilmu yang diajarkan. Sehingga dari sini kita dapat mengambil benang merah permasalahan kenapa banyak lulusan yang tidak berkualitas. Kalaupun lulus dengan nilai tinggi, itupun hanya hasil dari mencontek.
            Dan jika pendidikan hanya mendidik seseorang untuk sekedar cerdas dalam hal IQ tanpa diiringi kecerdasan bersikap dan berperilaku, maka hal ini menandakan buruknya kualitas pendidikan kita. Ini bukan mutlak kesalahan para guru, namun juga merupakan kesalahan kita yang belum sadar akan pentingnya memberikan keteladanan bagi generasi penerus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar