Mencontek, bukanlah hal baru di kalangan pelajar dan mahasiswa. Hal
ini telah terjadi dan berkembang menjadi budaya bahkan mendarah daging di
kalangan masyarakat kita. Budaya mencontek pada hakikatnya adalah budaya yang buruk
dan harus segera dieliminir. Namun sayangnya, virus budaya ini seperti sangat
sulit untuk dibasmi. Di Indonesia khususnya, budaya ini masih terus berkembang
pesat mulai dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Mencontek
sangat diandalkan oleh sebagaian kalangan pelajar dan mahasiswa untuk
mendapatkan nilai yang lebih baik dari kemampuan yang dimilikinya. Selain itu,
praktik ini dilakukan karena adanya tuntutan untuk menjawab tiap soal yang
memang jawabannya berorientasi pada buku teks. Hal ini tentu menyulitkan para
pelajar untuk menghafal setiap kalimatnya, sehingga mereka memilih untuk
membuka buku atau bertanya pada
temannya. Hal tersebut juga dilakukan karena lemahnya pengawasan oleh para
pengawas ujian.
Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa, fenomena mencontek ini
sering terjadi dalam dunia para akademisi. Karena, sudah dimaklumi bahwa
orientasi belajar di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus
ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang
membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan
praktik mencontek. Hal ini erat kaitannya dengan budaya masyarakat Indonesia yang memandang
nilai dan ijazah sebagai parameter tingkat kesuksesan seseorang dalam jenjang
pendidikannya.
Secara psikologis,
jelas bahwa praktik mencontek ini mencermikan sikap kurang percaya diri ketika
menghadapi ujian. Karena percaya diri ini muncul bersamaan dengan adanya
persiapan yang matang. Dampak negatif dari praktik ini adalah menciptakan sifat
tidak mandiri, mudah putus asa bahkan dapat menumbuhkan kejahatan. Secara
logika, jika praktik kecurangan ini terus dipelihara maka, lambat laun akan
menjadi tindak kejahatan. Tengok saja praktik mencontek yang memang dengan
sengaja disusun secara sistematis, misalnya pembocoran soal ujian nasional oleh
“orang dalam” atau oknum guru yang
notabene adalah seorang pendidik. Ironis memang ketika seseorang yang berperan
sebagai pendidik malah justru memberikan contoh yang tidak baik dengan melakukan
praktik kecurangan. Parahnya lagi, seorang pelajar yang mendapatkan bocoran
tersebut tidak merasamalu, malah justru bangga dengan yang ia peroleh. Umumnya
praktik kecurangan ini dilakukan olehpara oknum yang nilai akademiknya kurang
baik. Namun yang lebih mencengangkan adalah ketika sang juara kelas pun juga
turut serta dalam praktik percontekan.Mereka melakukan hal itu dikala kurangnya
persiapan ketika akan menghadapi ujian serta adanya faktor prestise yang
menyebabkan mereka memiliki ambisi yang terlalu besar untuk tetap menjadi yang
nomor satu.
Menurut M. Nuh,
selaku Menteri Pendidikan Nasional, beliau menyatakn bahwa budaya mencontek
adalah budaya meraih prestasi instan tanpa memperhatikan moralitas. Lebih dalam
lagi, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat,
salah seorang tokoh pendidikan yang sekaligus juga menjabat sebagai rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, mengatakan bahwa praktik mencotek adalah korupsi
yang menular. Contoh nyata yang menjamur
adalah perilaku para pelajar ketika
menghadapi ujian kelulusan di jenjang pendidikan manapun. Ada saja cara mereka untuk mencari dan
mendapatkan bocoran soal bahkan secara terang-terangan mencontek hasil
pekerjaan temannya demi mendapatkan jawaban yang benar serta nilai yang maksimal
tanpa mau belajar keras. Bukankah hal ini merupakan perilaku korupsi?
Ironisnya tindakan ini terkadang malah
justru difasilitasi oleh orang tua, kepala sekolah, atau Dinas Pendidikan demi
menjaga nama baik sekolah dengan cara mempertahankan rangking tingkat kelulusan
siswa, meski dengan jalan kotor. Jadi, kalau sekarang sering ditemukan pejabat
publik atau anggotaDPR yang korupsi, bisa jadi itu merupakan refleksi atau
kelanjutan dari kebiasaan mencontek sewaktu sekolah dulu.
Lebih lanjut menurutnya,
tanda baiknya pelaksanaan pendidikan bukan dinilai dari lulusan sarjana yang
tinggi dan meningkatnya anak-anak yang masuk sekolah, melainkan meningkatnya
kecerdasan emosional para pelajar untuk menuntut ilmu secara sadar dan
berubahnya pola pikir dan tingkah laku
menjadi lebih baik. Hal ini menjadi penting sebab, jika seorang pelajar hanya menuntut
ilmu ketika disuruh, sampai kapan pun akan tetap ikut-ikutan tanpa menguasai
ilmu yang diajarkan. Sehingga dari sini kita dapat mengambil benang merah
permasalahan kenapa banyak lulusan yang tidak berkualitas. Kalaupun lulus
dengan nilai tinggi, itupun hanya hasil dari mencontek.
Dan jika
pendidikan hanya mendidik seseorang untuk sekedar cerdas dalam hal IQ tanpa
diiringi kecerdasan bersikap dan berperilaku, maka hal ini menandakan buruknya
kualitas pendidikan kita. Ini bukan mutlak kesalahan para guru, namun juga
merupakan kesalahan kita yang belum sadar akan pentingnya memberikan
keteladanan bagi generasi penerus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar