Minggu, 29 Juni 2014

Pemilih Cerdas, Presiden Berkualitas



Pertarungan menuju kursi RI 1 semakin dekat. Persaingan atar kandidat pun kian memanas dan semakin menarik untuk diperbincangkan. Seluruh rakyat Indonesia nantinya akan turut serta dalam menentukan nasib bangsa ini selama lima tahun ke depan.
Berbagai upaya pun dilakukan untuk lebih mengenalkan para calon pemimpin negeri ini kepada masyarakat luas. Salah satunya adalah dengan kampanye, talkshow sampai pada debat capres-cawapres yang ditayangkan diberbagai media massa. Semuanya dilakukan semata-mata untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat sekaligus mendulang suara.
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam bukunya yang berjudul No Easy Choice: Political Participation in Developin Countries, menjelaskan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembutan keputusan pemerintah. Partisipasi merupakan ciri khas modernisasi politik. Kemajuan demokrasi suatu negara dapat dilihat dari seberapa besar partisipasi politik masyarakatnya.
Di negara-negara demokratis, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Jadi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan yang absah dari masyarakat. Bentuk pasrtisipasi masyarakat dalam politik contohnya adalah memberikan suara dalam pemilu. Setidaknya ada tiga variabel yang bisa memengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu, yaitu sosialisasi pemilu oleh stakeholder, pendidikan politik masyarakat dan kemandirian politik masyarakat.
Di sini, pengetahuan publik atas informasi (well informed) menjadi salah satu faktor penting dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat. Dalam masyarakat modern manapun, media memiliki peranan penting bagi perkembangan politik masyarakatnya. Sebagai suatu alat untuk menyampaikan informasi, penilaian, atau gambaran umum tentang sesuatu, ia berperan untuk membentuk opini publik.
Hal ini terjadi karena media juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang direpresentasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris. Menurut Sudibyo (2001), media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kepentingan kelompok akan mendapatkan perlakuan yang seimbang. Media justru bisa menjadi subjek yang mengkonstruksikan realitas berdasarkan kepentingan dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak, lebih-lebih bagi media partisan.
Media massa berdasarkan ideologi serta keberpihakannya kepada salah satu kekuatan politik tertentu, dalam hal ini melakukan usaha-usaha penguasaan khalayak melalui pemberitaannya dengan memberikan penjulukan (labelling) tentang suatu objek. Penggunaan media sebagai ajang pertarungan politik juga ditegaskan oleh Charllote Ryan, dimana media adalah suatu ajang perang simbolik antara pihak-pihak yang berkepentingan. Mereka saling mengajukan pemaknaan terhadap persoalan agar lebih diterima khalayak.
Pemilih Emosional vs Pemilih Rasional
Dalam situasi menjelang pilpres ini, media menjalankan perannya untuk mengkonstrusikan realitas yang ada guna memengaruhi pilihan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat cenderung akan terpecah menjadi dua kubu pemilih, yakni pemilih emosional dan pemilih rasional. Pemilih emosional adalah pemilih dengan fanatisme tinggi. Kelompok pemilih ini adalah mereka yang merupakan pendukung fanatik, anggota partai pendukung, atau orang-orang dengan kepentingan tertentu.Sedangkan pemilih rasional adalah mereka yang memilih berdasarkan pertimbangan dan analisis tertentu. Pilihan kelompok ini bisa berubah sewaktu-waktu bergantung pada informasi yang diperoleh.
Perilaku fanatik terhadap capres dan cawapres belakangan ini justru menjadi hal yang negatif dalam keberlangsungan kampanye pilpres. Tindakan fanatik ini terkadang memicu munculnya black campaign. Di mana mereka selalu menganggap calon yang didukungnya adalah yang paling benar dan paling layak tanpa ada kurang suatu apapun.
Para pakar psikologi mendefinisikan fanatisme sebagai usaha untuk mengejar atau mempertahankan sesuatu dengan cara-cara ekstrim dan penuh hasrat melebihi batas kewajaran. Napoleon Bonaparte pernah berkata, there’s no place in fanatic’s head were reasons can enter (tidak ada sedikitpun tempat dalam kepala orang fanatik untuk menerima alasan). Agaknya apa yang disampaikan oleh Napoleon ini benar adanya. Seorang yang fanatik memiliki pola pikir searah, kaku, memegang teguh keyakinan mereka secara absolut, serta mengerahkan energi mereka untuk membuktikan keyakinan mereka adalah benar. Mereka cenderung tidak akan memperdulikan arguumen, fakta atau informasi apapun yang buruk tentang idola mereka dan membantah setiap informasi yang berisi keunggulan lawan.
Dalam konsepsi Islam, fanatisme ini sama dengan taklid buta. Menurut Syekh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya, Kaifa Nata’amal  Ma’a al-Turath wa al-tamazhub wa al-Ikhtilaf, taklid artinya mengikuti tanpa alasan atau meniru dan menurut tanpa dalil. Taklid buta diharamkan dalam syariat, karena memahami suatu hal dengan cara mutlak dan membabi buta.
Jangan fanatik
Sebagai masyarakat terdidik, kita seharusnya tidak menjadi pemilih yang fanatik. Kita harus bisa membuka mata dan pikiran untuk menganalisa mana yang pantas dipilih untuk memimpin negeri ini. Tidak hanya mengandalkan jargon pokoke yang dalam bahasa jawa berarti kalau tidak yang itu tidak (paten).
Kita harus lebih bijak dalam menentukan pilihan. Tidak ada larangan untuk menyukai dan mendukung calon tertentu. Namun, jangan sampai “dukungan” kita menjadi berlebihan. Fanatisme dapat membuat kitamenjadi orang yang buta, tuli, tidak toleran, bodoh, serta menghilangkan tali silaturrahmi yang telah terjalin dengan baik.
Jadi, siapakah yang akan kita pilih pada tanggal 9 Juli nanti? Yang jelas, tidak ada pemimpin yang benar-benar ideal, sama seperti ungkapan tidak ada manusia yang sempurna. Maka, jadilah pemilih yang bijak dengan membuka mata, telinga, pikiran dan hati nurani seluas-luasnya agar apa yang telah kita pilih memberikan manfaat bagi kita kelak.