Pertarungan menuju kursi RI 1 semakin dekat.
Persaingan atar kandidat pun kian memanas dan semakin menarik untuk
diperbincangkan. Seluruh rakyat Indonesia nantinya akan turut serta dalam
menentukan nasib bangsa ini selama lima tahun ke depan.
Berbagai upaya pun dilakukan untuk lebih
mengenalkan para calon pemimpin negeri ini kepada masyarakat luas. Salah
satunya adalah dengan kampanye, talkshow sampai pada debat
capres-cawapres yang ditayangkan diberbagai media massa. Semuanya dilakukan
semata-mata untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat sekaligus
mendulang suara.
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam
bukunya yang berjudul No Easy Choice: Political Participation in Developin
Countries, menjelaskan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga
negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi
pembutan keputusan pemerintah. Partisipasi merupakan ciri khas modernisasi
politik. Kemajuan demokrasi suatu negara dapat dilihat dari seberapa besar partisipasi
politik masyarakatnya.
Di negara-negara demokratis, pemikiran yang
mendasari konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan berada di tangan
rakyat. Jadi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari
penyelenggaraan kekuasaan yang absah dari masyarakat. Bentuk pasrtisipasi
masyarakat dalam politik contohnya adalah memberikan suara dalam pemilu. Setidaknya
ada tiga variabel yang bisa memengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam
pemilu, yaitu sosialisasi pemilu oleh stakeholder, pendidikan politik
masyarakat dan kemandirian politik masyarakat.
Di sini, pengetahuan publik atas informasi (well
informed) menjadi salah satu faktor penting dalam peningkatan partisipasi
politik masyarakat. Dalam masyarakat modern manapun, media memiliki peranan penting
bagi perkembangan politik masyarakatnya. Sebagai suatu alat untuk menyampaikan
informasi, penilaian, atau gambaran umum tentang sesuatu, ia berperan untuk
membentuk opini publik.
Hal ini terjadi karena media juga dapat
berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan
suatu kepentingan atau citra yang direpresentasikan untuk diletakkan dalam
konteks kehidupan yang lebih empiris. Menurut Sudibyo (2001), media bukanlah
ranah yang netral dimana berbagai kepentingan kelompok akan mendapatkan
perlakuan yang seimbang. Media justru bisa menjadi subjek yang
mengkonstruksikan realitas berdasarkan kepentingan dan definisinya sendiri
untuk disebarkan kepada khalayak, lebih-lebih bagi media partisan.
Media massa berdasarkan ideologi serta
keberpihakannya kepada salah satu kekuatan politik tertentu, dalam hal ini
melakukan usaha-usaha penguasaan khalayak melalui pemberitaannya dengan
memberikan penjulukan (labelling) tentang suatu objek. Penggunaan media
sebagai ajang pertarungan politik juga ditegaskan oleh Charllote Ryan, dimana
media adalah suatu ajang perang simbolik antara pihak-pihak yang
berkepentingan. Mereka saling mengajukan pemaknaan terhadap persoalan agar
lebih diterima khalayak.
Pemilih Emosional vs Pemilih Rasional
Dalam situasi menjelang pilpres ini, media
menjalankan perannya untuk mengkonstrusikan realitas yang ada guna memengaruhi
pilihan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat cenderung akan terpecah menjadi
dua kubu pemilih, yakni pemilih emosional dan pemilih rasional. Pemilih
emosional adalah pemilih dengan fanatisme tinggi. Kelompok pemilih ini adalah
mereka yang merupakan pendukung fanatik, anggota partai pendukung, atau
orang-orang dengan kepentingan tertentu.Sedangkan pemilih rasional adalah
mereka yang memilih berdasarkan pertimbangan dan analisis tertentu. Pilihan
kelompok ini bisa berubah sewaktu-waktu bergantung pada informasi yang
diperoleh.
Perilaku fanatik terhadap capres dan cawapres
belakangan ini justru menjadi hal yang negatif dalam keberlangsungan kampanye
pilpres. Tindakan fanatik ini terkadang memicu munculnya black campaign.
Di mana mereka selalu menganggap calon yang didukungnya adalah yang paling
benar dan paling layak tanpa ada kurang suatu apapun.
Para pakar psikologi mendefinisikan fanatisme
sebagai usaha untuk mengejar atau mempertahankan sesuatu dengan cara-cara
ekstrim dan penuh hasrat melebihi batas kewajaran. Napoleon Bonaparte pernah
berkata, there’s no place in fanatic’s head were reasons can enter (tidak
ada sedikitpun tempat dalam kepala orang fanatik untuk menerima alasan).
Agaknya apa yang disampaikan oleh Napoleon ini benar adanya. Seorang yang
fanatik memiliki pola pikir searah, kaku, memegang teguh keyakinan mereka
secara absolut, serta mengerahkan energi mereka untuk membuktikan keyakinan
mereka adalah benar. Mereka cenderung tidak akan memperdulikan arguumen, fakta
atau informasi apapun yang buruk tentang idola mereka dan membantah setiap
informasi yang berisi keunggulan lawan.
Dalam konsepsi Islam, fanatisme ini sama
dengan taklid buta. Menurut Syekh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya, Kaifa
Nata’amal Ma’a al-Turath wa al-tamazhub
wa al-Ikhtilaf, taklid artinya mengikuti tanpa alasan atau meniru dan
menurut tanpa dalil. Taklid buta diharamkan dalam syariat, karena memahami
suatu hal dengan cara mutlak dan membabi buta.
Jangan fanatik
Sebagai masyarakat terdidik, kita seharusnya
tidak menjadi pemilih yang fanatik. Kita harus bisa membuka mata dan pikiran
untuk menganalisa mana yang pantas dipilih untuk memimpin negeri ini. Tidak
hanya mengandalkan jargon pokoke yang dalam bahasa jawa berarti kalau
tidak yang itu tidak (paten).
Kita harus lebih bijak dalam menentukan
pilihan. Tidak ada larangan untuk menyukai dan mendukung calon tertentu. Namun,
jangan sampai “dukungan” kita menjadi berlebihan. Fanatisme dapat membuat kitamenjadi
orang yang buta, tuli, tidak toleran, bodoh, serta menghilangkan tali
silaturrahmi yang telah terjalin dengan baik.
Jadi, siapakah yang akan kita pilih pada
tanggal 9 Juli nanti? Yang jelas, tidak ada pemimpin yang benar-benar ideal,
sama seperti ungkapan tidak ada manusia yang sempurna. Maka, jadilah pemilih
yang bijak dengan membuka mata, telinga, pikiran dan hati nurani seluas-luasnya
agar apa yang telah kita pilih memberikan manfaat bagi kita kelak.