Kamis, 14 Mei 2020

Reynhard Sinaga, Clickbait, dan Jurnalisme Sensasi




Chelin Indra Sushmita
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi FISIP UNS Solo

Kasus pelecehan seksual yang dilakukan mahasiswa Indonesia, Reynhard Sinaga, terhadap 48 pria di Inggris menjadi berita paling hot, baik di Inggris maupun Tanah Air. Pemberitaan kasus pemerkosaan dengan klaim yang terbesar di Inggris memberikan pelajaran berharga sekaligus menyulut berbagai komentar serta kritikan terhadap praktik jurnalistik di Indonesia.

Sejumlah orang, termasuk kalangan peneliti, praktisi jurnalistik, hingga masyarakat awam membandingkan cara media massa di Inggris dan media massa Indonesia memberitakan kasus hukum yang menjerat Reynhard Sinaga. Sebagian dari mereka menilai cara media massa di Inggris memberitakan Reynhard Sinaga lebih elegan. Sementara kebanyakan media massa di Indonesia, khususnya berbasis online, masih saja berfokus pada perspektif pasar yang sensasional dalam memberitakan kasus pemerkosaan dengan terdakwa Reynhard Sinaga.

Kasus pemerkosaan yang dilakukan Reynhard Sinaga secara tidak langsung menunjukkan adanya ketimpangan besar dalam etika pemberitaan di dua negara berbeda, Inggris dan Indonesia. Reynhard Sinaga dijatuhi hukuman penjara seumur hidup akibat terbukti memperkosa 48 pria. Namun, dalam persidangan terbongkar pemerkosaan Reynhard Sinaga berjumlah nyaris 200 orang. Reynhard Sinaga telah ditangkap sejak 2017, namun pemberitaan tentang dirinya baru disiarkan setelah hakim menjatuhkan vonis pada Desember 2019. Cara pemberitaan media massa Inggris tentang Reynhard Sinaga pun sangat beretika dan tidak salah fokus.

Media massa di Inggris, BBC dan The Guardian menjadi yang paling banyak dijadikan rujukan di Indonesia untuk memberitakan kasus pemerkosaan Reynhard Sinaga. Namun, alih-alih membuat berita informatif, kritis, dan mencerahkan seperti BBC dan The Guardian, mayoritas media massa online di Indonesia justru melihat kasus ini sebagai suatu sensasi.

Berita soal Reynhard Sinaga menjadi trending topic di Indonesia sejak 6-16 Januari 2020. Ketika mengetik kata kunci Reynhard Sinaga di mesin pencari, maka akan keluar sederet artikel terkait dari media Indonesia yang sebgian besar bersifat clickbait. Dalam hal ini, pemberitaan sejumlah media massa di Indonesia justru mengeksplorasi hal-hal di luar konteks kasus pemerkosaan yang dilakukan Reynhard Sinaga.  Mulai dari gaya selfie ganteng, orientasi seksual, keluarga, pandangan teman-temannya, hingga potret rumahnya di Tanah Air.

Bisa dikatakan media massa online Indonesia secara tidak langsung menelanjangi sosok Reynhard Sinaga. Hal inilah yang lantas membuat sejumlah orang membandingkan perbedaan cara media Inggris dan Indonesia menulis pemberitaan tentang kasus Reynhard Sinaga.

Sejumlah media massa di Inggris seperti BBC, The Guardian, The Telegraph, bahkan media lokal Manchester Evening News, tidak menjadikan kasus Reynhard Sinaga sebagai berita murahan. Padahal, kasus yang diklaim sebagai pemerkosaan terbesar di Inggris itu memuat berbagai hal sensasional. Namun, media sekelas Daily Mail dan The Sun yang biasa menjual berita sensasional pun tidak terlalu menjadikan latar belakang Reynhard Sinaga sebagai objek pemberitaan sensasional.

Padahal, skala kasus sedemikian dahsyat yang dilakukan imigran jelas merupakan sensasi tak terbantahkan untuk mengundang klik. Apalagi Inggris merupakan tempat jurnalisme tabloid yang fokus pada sensasi lahir. Namun, unsur sensasional dalam pemberitaan media massa Inggris terkait kasus Reynhard Sinaga masih terbilang wajar.

Beberapa berita Inggris soal kasus Reynhard Sinaga yang dibaca peneliti disajikan dengan cara berbeda dari jurnalis di Indonesia. Media Inggris mendeskripsikan detail kekerasan yang dialami korban. Tetapi, deskripsi yang diberikan sangat kontekstual sehingga menunjukkan dengan jelas seberapa mengerikan peristiwa tersebut tanpa menyebut identitas korban.

Dalam hal ini, media Inggris sangat melindungi identitas korban. Sebaliknya, foto wajah pelaku dipampang jelas di headline berita. Meski demikian, media massa Inggris tidak mengulik soal latar belakang pelaku, apalagi soal orientasi seksualnya. Mereka sangat sadar kekerasan seksual tidak ada hubungannya dengan orientasi seks. Hal yang sering dibahas adalah status Reynhard Sinaga sebagai mahasiswa. Tidak ada perhatian lebih soal orientasi seksual pelaku. Bahkan, negara asal Reynhard Sinaga tidak terlalu diperhatikan.

Pemberitaan kasus Reynhard Sinaga di media Inggris sangat berbeda dengan di Indonesia. Sejumlah media massa di Indonesia justru lebih fokus membahas soal latar belakang pria kelahiran Jambi, 19 Februari 1983 tersebut. Media massa di Indonesia bukan hanya menggambarkan secara dramatis kasus pemerkosaan yang dilakukan Reynhard Sinaga dalam rentang waktu 1 Januari 2015 hingga 2 Juni 2017.

Firman Imanuddin (2020) dari lembaga peneliti media dan komunikasi, Remotivi, menilai pemberitaan tentang Reynhard Sinaga di media massa online Indonesia tidak fokus. Sejak awal dia sudah menduga akan terjadi marking alias kondisi di mana informasi ditonjolkan dan dikaitkan dengan perilaku tertentu yang secara kontekstual sama sekali tidak relevan. Meski demikian, dia menyebut pemberitaan media massa cukup melegakan. Sebab, mayoritas media Indonesia tidak terlalu jauh menyeret isu kasus pemerkosaan sesama jenis itu.

Menurutnya mayoritas media Indonesia terpengaruh konten BBC atau The Guardian yang hanya fokus pada aspek kriminal dari kasus tersebut. Tetapi, dia menyayangkan masih ada sebagian media massa yang mencoba mengembangkan kasus tersebut secara liar. Misalnya mencari keterangan dari orang tua, teman dekat, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan pelaku demi menjual sensasi.

Kala itu, muncul beragam celotehan di Twitter yang bernada miring. Netizen mempertanyakan alasan jurnalis di Indonesia memberitakan hal-hal sensasional tentang sosok Reynhard Sinaga. Beberapa dari mereka mempertanyakan kenapa penampakan rumah Reynhard Sinaga dibahas?

Trending Topic vs Opini Publik 


Berbagai pertanyaan itu tersebar di media sosial, khususnya Twitter, yang menjelma sebagai ruang diskusi di era digital. Pada perkembangannya, obrolan dan diskusi di Twitter itu berkembang menjadi opini publik. Di era perkembangan teknologi yang begitu cepat ditambah dengan kekuatan jejeraing sosial, opini publik bisa dengan mudah diamati melalui media sosial. Sederhananya, opini publik yang berkembang di masyarakat bisa dilihat dengan mudah lewat komentar atau status berupa tanggapan terhadap suatu fenomena.

Opini publik terbentuk setelah pesan dari komunikator dalam hal ini media massa online sampai kepada khalayak. Pesan inilah yang kemudian memancing diskusi antar khalayak di ruang maya bernama media sosial Twitter. Pada praktiknya diskusi di Twitter berkembang lewat fasilitas tagar. Berbagai pendapat baik positif maupun negatif berpadu dalam celotehan yang kemudian menjadi trending topic. Narasi dari trending topic inilah yang pada akhirnya menyiratkan opini publik terhadap peristiwa tertentu.

Berdasarkan serentetan kicauan warganet di Twitter tentang Reynhard Sinaga dapat disimpulkan mereka lebih banyak menyoroti pemberitaan di media massa online di Indonesia. Publik mulai cerdas dan kritis dalam mengamati sekaligus mengomentari perbedaan pemberitaan Reynhard Sinaga di media massa Inggris dan media massa Indonesia.

Cara media massa Inggris dan Indonesia dalam memberitakan kasus Reynhard Sinaga memberikan gambaran perbedaan yang sangat kentara. Jika dicermati hampir tidak ada informasi murahan tentang kasus tersebut kecuali memuat efek traumatis korban dengan menonjolkan sisi kebiadaban pelaku.

Media massa Inggris memang terlihat masih menggunakan formula clickbait dalam judul pemmberitaannya. Seperti The Guardian yang menjuluki Reynhard Sinaga sebagai Peter Pan, tokoh animasi anak-anak yang tidak tumbuh dewasa.
Kata Peter Pan dipakai untuk menyebut Reynhard Sinaga yang terlihat dibandingkan usianya. Sementara Manchester Evening News dengan tegas menyebut kasus pemerkosaan yang dilakukan Reynhard Sinaga paling mengerikan di Inggris. Diksi yang dipakai dalam kedua judul berita tersebut menunjukkan kesan berlebihan. Bahkan Manchester Evening News menggambarkan Reynhard Sinaga sebagai seorang psikopat.

Kendati demikian, media massa online di Inggris hanya berfokus memberitakan kejahatan Reynhard Sinaga dalam kasus pemerkosaan. Mereka tidak membahas latar belakang Reynhard Sinaga yang merupakan seorang imigran. Tidak seperti sejumlah media massa di Indonesia seperti Okezone.com, Tribunnews.com, Detik.com, Sindonews.com, dan Kompas.com yang juga ikut mengulas hal lain di luar konteks kasus pemerkosaan dengan terdakwa Reynhard Sinaga.

Sementara media massa online Indonesia lebih suka mengulas hal-hal di luar kejahatan, tetapi masih berhubungan dengan sosok Reynhard Sinaga. Hal itulah yang kemudian menjadi sumber kritik dan berkembang menjadi opini publik jika gaya pemberitaan media massa Inggris lebih elegan ketimbang media massa online di Indonesia. Mengapa demikian?

Sayangnya, pertanyaan itu tidak terjawab yang pada akhirnya membuat warganet berkesimpulan bahwa wartawan Indonesia tidak punya pengetahuan yang cukup. Dalam hal ini komentar tersebut bisa dimaklumi lantaran tidak semua netizen paham praktik bisnis media massa di Indonesia dan benturannya dengan prinsip etika jurnalistik.

Etika Problem Pelik Jurnalistik


Tidak dapat dimungkiri etika jurnalisme di era digital menjadi problem yang cukup pelik. Persoalan itu mengemuka akibat perkembangan teknologi komunikasi yang semakin pesat. Dunia jurnalistik kini memasuki era baru. Di ranah jurnalisme, Internet melahirkan jurnalisme online dan menawarkan saluran informasi baru berupa media massa online.

Kehadiran jurnalisme online telah merevolusi pemberitaan, yakni kecepatan menjadi faktor utama. Kini, berita bukan lagi peristiwa yang telah terjadi, tetapi peristiwa yaang sedang berlangsung. Jurnalisme online yang disiarkan melalui internet menyajikan berita yang memungkinkan pengguna memperbarui berita dan informasi secara cepat dan saling berhubungan. Oleh sebab itu, orang melihat Internet sebagai media yang cepat ketimbang detil dalam menyajikan informasi, (Widodo, 2010).

Problem jurnalisme online bukan hanya soal kecepatan, tapi juga tingkat kemenarikan berita yang disajikan ke publik. Sepenting apapun isi suatu berita, jika judulnya kurang memikat biasanya akan diabaikan begitu saja oleh pembaca. Hal ini terjadi lantaran tipe pembaca media online yang biasanya hanya melihat sesuatu secara selintas. Jadi, judul memikat menjadi hal mutlak yang harus dipikirkan jurnalis media online. Salah satu cara yang paling banyak dilakukan jurnalis media online untuk menarik perhatian pembaca adalah menulis judul bombastis dengan formula clickbait alias umpan klik.

Ankesh Anand (2016) dari Indian Institute of Technology dalam tulisannya bertajuk We Used Neural Networks to Detect Clickbaits: You Won't Believe What Happened Next menjelaskan clickbait merupakan judul berita yang dibuat untuk menggoda pembaca. Biasanya judul dibuat dengan bahasa provokatif yang menarik perhatian.

Clickbait tengah menjadi fenomena yang menjamur di dunia digital, khususnya media online. Tujuannya hanya untuk menarik pembaca mengunjungi situs web guna mendulang page view alias jumlah klik berita. Judul clickbait memantik konsekuensi emosional. Pembaca biasanya mengeklik artikel lantaran ingin memuaskan sisi emosional. 

Kehebohan judul berita online tersebut biasanya memancing komentar bahkan hingga memicu perdebatan di kalangan pembaca. Berbagai kata yang mengusik sisi emosional manusia dipakai dalam formula clickbait demi menarik pembaca. Dengan demikian, berita online seperti boleh dibuat taanpa mengindahkan prinsip-prinsip dan kode etik jurnalistik.

Semua hal seolah boleh dilakukan dengan dasar menarik pembaca dan meningkatkaan performa situs. Alhasil, sebagian besar judul berita di media online menerapkan pola clickbait. Jika perlu, judul berita dibuat seru bahkan menggunakan kata saru demi menjaring pembaca. Berita sensasional semacam ini menjadi pertanda rendahnya standar etika jurnalisme di kalangan jurnalis media online.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Abdul Manan, menilai, fenomena clickbait tidak bisa dihindari di era persaingan media digital yang sangat ketat seperti saat ini. Sebab, pemilik media tentu berkepentingan mempertahankan bisnisnya untuk meraih pendapatan dari kue iklan. Meski demikian, menurutnya media online tetap harus bertanggung jawab menjaga marwah jurnalisme, kode etik, dan aturan-aturan yang berlaku.

Bagi sejumlah media massa online termasuk di Indonesia, clickbait merupakan cara memperpanjang napas bisnis. Tapi, itu bukanlah cara yang dianjurkan. Namun hal itu bukanlah cara yang dianjurkan lantaran media online sebenarnya bisa melakukan improvisasi konten dengan hal-hal baru, bukan sekadar mengandalkan judul penuh sensasi untuk mengundang klik padahal beritanya tak bermutu.

Adapun yang dimaksud dengan konten tak bermutu adalah berita yang mengandung unsur sensasi, seksual, erotisme, atau hal-hal yang menuai kontroversi. Pasalnya, clickbait berpotensi membuat media online tidak menjalankan fungsi jurnalismenya secara benar, tanpa verifikasi, pembohongan publik, dan tidak mendidik masyarakat.

Ironisnya meski sadar ditipu mentah-mentah dengan judul clickbait, kebanyakan orang masih saja mau membaca berita tersebut. Sampai kapan mau terus terbuai dengan tipuan semacam itu?