Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI) sepakat bahwa infotainment bukanlah berita. Produk infotainmet tidak bisa
dimasukkan dalam kategori karya jurnalistik. Menurut salh satu pengajar di
Jurusan Komunikasi, Universitas Gadjah Mada, Ana Nadya Abrar, sebagaimana
dilansir www.vivanews.com Jumat, 23 Juli 2010, menegaskan bahwa tayangan
infotainment tidak dapat dikategorikan sebagai berita. Menurutnya, infotainment
tidak memenuhi tiga syarat laporan jurnalistik, relevan, penting, dan
menyentuh.
Berita infotainment tidak relevan untuk
kehidupan banyak orang, pun juga tidak menyangkut kepentingan banyak orang.
Infotainment hanya memenuhi syarat menyentuh perasaan khalayak. Infotainment
adalah tayangan informasi yang bersifat menghibur yang dibuat untuk menarik
banyak pemirsa untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Selama ini produk infotainment masih
kontroversial. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) berpendapat infotainment
adalah karya jurnalistik. Para pemburu beriga “gosip” infotainment pun bisa
masuk menjadi anggota PWI. Kebalikannya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
menolaknya. Menurut AJI, infotainment bukan berita karena proses pembuatannya
tidak dilakukan menggunakan kaidah jurnalistik yang benar.
Dalam sebuah desertasi yang berjudul “Relasi
Kekuasaan dalam Budaya Industri Televisi di Indonesia, Studi Budaya
Televisi pada Program Infotainment,” untuk
memperoleh gelar Doktor UI, Mulharnetti Syas menyimpulkan program infotainment
tidak dapat disebut karya jurnalistik, dan praktisi yang memproduksinya
bukanlah wartawan. Sementara dalam literatur lain yang berjudul “That’s
Infotainment” (30/04/2001), mahaguru The School of Communication at
American University, Matthew C Nisbet, menyatakan bahwa infotainment
sebagai softjournalism, yang liputannya meliputi berita sensasional
tentang selebritas, kriminal, dan paranormal.
Dalam beberapa kasus, produk infotainment
jelas-jelas tidak menginndahkan kode etik jurnalistik. Selain cara memperoleh
berita yang sering melanggar prinsip jurnalisme, substansinya pun tidak
memenuhi kelayakan berita.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menuliskan
dalam bukunya yang berjudul The Elements of Journalism, ada sepuluh
elemen yang harus dipenuhi dalam kerja jurnalisme, yaitu:
Pertama, kewajiban pertama jurnalisme adalah
kepada kebenaran. Dalam infotainment berita yang disajikan kepada khalayak
terkadang tidak berlandaskan pada fakta yang terjadi, namun lebih sering berupa
isu, rumor dan sejenisnya.
Kedua, loyalitas pertama jurnalisme adalah
kepada warga. Jika ditilik, berita yang disajikan infotainment tidaklah
berdasar kepentingan warga, melainkan hanya sekedar memberikan bahan hiburan
dan berpijak pada kepentingan perusahaan.
Ketiga, esensi jurnalisme adalah disiplin
verifikasi. Yang harus menjadi fokus utama dalam pemberitaan jurnalisme
haruslah apa yang terjadi sebenarnya, namun dalam tayangan infotainment
terkadang yang menjadi pemberitaan adalah sesuatu yang diada-adakan.
Keempat, jurnalis harus menjaga indepedensi
dari liputannya. Seorang jurnalis harus menjaga jarak personal, agar ia dapat
melihat dengan jelas dan membuat penilaian independen dari hal yang
diberitakan. Bukan malah memanfaatkan kedekatan personal dengan yang menjadi
objek pemberitaannya untuk membuat sebuah berita sensasional.
Jika ditilik dari segi bahasa, infotainment berasal dari dua kata yaitu,
information dan entertainmment. Jadi jelaslah apa yang disajikan infotainment
hanyalah berupa tayangan yang bersifat menghibur, yang jelas bukan termasuk
dalam kategori berita.
Menurut sosiolog Musni Umar, walau terkadang
mengundang kontroversi, tayangan infotainment bisa juga menjadi pelajaran.
Contohnya pada kasus video porno artis yang tersebar luas, ada efek jera yang
bisa diambil.
Meskipun infotainment dikategorikan sebagai
tayangan nonfaktual, penayangannya masih tetap diperbolehkan. Namun tentunya
kita sebagai masyarakat harus lebih cerdas memilih tayangan yang akan ditonton,
apakah tayangan hanya berupa hiburan dan mana tayangan yang bersifat
mengedukasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar