Wong cilik yang merupakan tulang punggung negara Indonesia adalah
bagian mayoritas masyarakat yang secara kuantitatif belum menikmati hasil
pembangunan. Posisi mereka yang berada di lapisan paling bawah dari
stratifikasi sosial masih konsisten sebagai penerima “kue” pembangunan paling
kecil.
Nasib wong cilik yang memprihatinkan masih tetap
dijadikan kuda tunggangan bagi kaum elite politik untuk mengantar mereka menuju
kursi kekuasaan. Mereka dibuat bingung dengan berbagai gaya kampanye para kandidat.
Ditambah lagi dengan berbagai pemberitaan media tentang sosok para kandidat. Semuanya
dilakukan semata-mata untuk mendongkrak popularitas sekaligus merebut suara wong
cilik
Seperti gaya blusukan ala capres Jokowi yang seing
disorot media, disebut mengikuti gaya kepemimpinan Rasulullah. Ditambah lagi
dengan munculnya berbagai media partisipan yang mencitrakan kandidat yang
didukungnya. Di mana mereka merasa bahwa kandidatnyalah yang
paling baik dan pantas untuk memegang tampuk kepemimpinan negeri ini. Bahkan dalam buletin Obor Rahmatan lil ‘alamin, Khofifah
Indar Parawansa yang merupakan Ketua Umum PP Muslimat NU menyebutkan bahwa
kebiasaan Jokowi blusukan selama
ini, sama dengan jejak para rasul.
Wajar
memang, ketika masa kampanye para kandidat dan jurkamnya selalu
menggembar-gemborkan isu kesejahteraan, menebar janji dan terkadang malah
saling menjatuhkan satu sama lain. Mencitrakan diri dengan sebaik-baiknya memang
tidak salah. Namun amat disayangkan ketika alat yang digunakan untuk
mencitrakan diri adalah simbol-simbol agama.
Agama
adalah simbol
primordial yang sangat mudah digunakan untuk tujuan tersebut. Maka tak jarang para kandidat akan menggandeng tokoh
agama untuk mendongkrak suara. Di sini terlihat jelas bahwa agama telah
kehilangan kesakralannya, dimana ia dapat diseret-seret untuk memenuhi hasrat
kerakusan berpolitik praktis. Hal ini lama-kelamaan akan memunculkan tindakan
politisasi agama.
Agama memang isu krusial di masyarakat. Agama sangat erat
kaitannya dengan keimanan, ketakwaan, dan keyakinan kepada Tuhan. Agama tidak
membeda-bedakan golongan politk. Agama megukuhkan aspek kepentingan abadi,
yaitu keselamatan dunia dan akhirat. Adapun politik sangat erat kaitannya
dengan persoalan kekuasaan yang bersifat duniawi.
Jika politik diperjuangkan untuk kepentingan agama,
barangkali tidak akan menjadi masalah. Namun, jika agama dieksploitasi untuk
kepentingan politik seperti penggunaan simbol-simbol dan ajaran agama hanya
demi tujuan mencapai kemenangan politik, di sinilah mulai terjadi pelecehan
agama.
Sebenarnya rakyat tidak membutuhkan pemimpin yang
mengandalkan pencitraan. Masyarakat tidak membutuhkan agama seorang pemimpin
melainkan bagaimana ia memimpin sehingga mampu memberikan keamanan,
kesejahteraan, dan keadilan bagi masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar