Sabtu, 05 Juli 2014

Agama dan Pilpres



Wong cilik yang merupakan tulang punggung negara Indonesia adalah bagian mayoritas masyarakat yang secara kuantitatif belum menikmati hasil pembangunan. Posisi mereka yang berada di lapisan paling bawah dari stratifikasi sosial masih konsisten sebagai penerima “kue” pembangunan paling kecil.
Nasib wong cilik yang memprihatinkan masih tetap dijadikan kuda tunggangan bagi kaum elite politik untuk mengantar mereka menuju kursi kekuasaan. Mereka dibuat bingung dengan berbagai gaya kampanye para kandidat. Ditambah lagi dengan berbagai pemberitaan media tentang sosok para kandidat. Semuanya dilakukan semata-mata untuk mendongkrak popularitas sekaligus merebut suara wong cilik
Seperti gaya blusukan ala capres Jokowi yang seing disorot media, disebut mengikuti gaya kepemimpinan Rasulullah. Ditambah lagi dengan munculnya berbagai media partisipan yang mencitrakan kandidat yang didukungnya. Di mana mereka merasa bahwa kandidatnyalah yang paling baik dan pantas untuk memegang tampuk kepemimpinan negeri ini. Bahkan dalam buletin Obor Rahmatan lil ‘alamin, Khofifah Indar Parawansa yang merupakan Ketua Umum PP Muslimat NU menyebutkan bahwa kebiasaan Jokowi blusukan  selama ini, sama dengan jejak para rasul.
Wajar memang, ketika masa kampanye para kandidat dan jurkamnya selalu menggembar-gemborkan isu kesejahteraan, menebar janji dan terkadang malah saling menjatuhkan satu sama lain. Mencitrakan diri dengan sebaik-baiknya memang tidak salah. Namun amat disayangkan ketika alat yang digunakan untuk mencitrakan diri adalah simbol-simbol agama.
Agama adalah simbol primordial yang sangat mudah digunakan untuk tujuan tersebut. Maka tak jarang para kandidat akan menggandeng tokoh agama untuk mendongkrak suara. Di sini terlihat jelas bahwa agama telah kehilangan kesakralannya, dimana ia dapat diseret-seret untuk memenuhi hasrat kerakusan berpolitik praktis. Hal ini lama-kelamaan akan memunculkan tindakan politisasi agama.
Agama memang isu krusial di masyarakat. Agama sangat erat kaitannya dengan keimanan, ketakwaan, dan keyakinan kepada Tuhan. Agama tidak membeda-bedakan golongan politk. Agama megukuhkan aspek kepentingan abadi, yaitu keselamatan dunia dan akhirat. Adapun politik sangat erat kaitannya dengan persoalan kekuasaan yang bersifat duniawi.
Jika politik diperjuangkan untuk kepentingan agama, barangkali tidak akan menjadi masalah. Namun, jika agama dieksploitasi untuk kepentingan politik seperti penggunaan simbol-simbol dan ajaran agama hanya demi tujuan mencapai kemenangan politik, di sinilah mulai terjadi pelecehan agama.
Sebenarnya rakyat tidak membutuhkan pemimpin yang mengandalkan pencitraan. Masyarakat tidak membutuhkan agama seorang pemimpin melainkan bagaimana ia memimpin sehingga mampu memberikan keamanan, kesejahteraan, dan keadilan bagi masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar