Selasa, 13 Mei 2014

Memperingati Hari Buruh Internasional: Bekerja atau Menuntut?


Bekerja adalah kewajiban setiap orang, baik muslim maupun non muslim. Sebagai umat muslim, setiap pekerjaan yang baik akan dilakukan dengan mengharap ridho Allah.
Bekerja adalah fitrah yang sekaligus merupakan salah satu identitas manusia, sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip tauhid, bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai ‘abdullah (hamba Allah), yang mengelola alam semesta.
Apabila bekerja itu adalah fitrah manusia, maka jelaslah bahwa manusia yang enggan bekerja, malas dan tidak mau mendayagunakan seluruh potensi itu menentang fitrahnya sendiri. Bahkan menurunkan derajatnya sebagai hammba Allah yang mulia.
Islam menempatkan budaya kerja bukan hanya sekedar sisipan atau perintah sambil lalu, tetapi menempatkannya sebagai tema sentral dalam pembangunan umat. Bekerja dalam takaran agama Islam adalah sama dengan pernyataan syukur kepada Sang Pencipta, bahkan bekerja adalah setara dengan berjuang fisabilillah.
Bekerja untuk mencari karunia Allah, menjebol kemiskinan, meningkatkan taraf hidup dan martabat serta harga diri merupakan nilai ibadah yang esensial. Konotasi dan pengertian bekerja hendaknya jangan ditafsirkan sebagai penerima upah tanpa memiliki prestasi apapun.  Sejatinya, bekerja adalah segala aktivitas dinamis yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani). Dan di dalam mencapai tujuan tersebut seorang pekerja berupaya dengan  penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang terbaik sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah.
Hampir di setiap sudut kehidupan, kita akan menyaksikan begitu banyak orang yang bekerja. Mulai dari salesman yang hilir mudik menawarkan barang dagangannya, guru yang tekun berdiri di depan kelas untuk menyalurkan ilmunya, polisi yang mengatur lalu lintas di tengah hujan bahkan sengatan terik matahari, serta segudang profesi lainnya.
Walau demikian, tidak semua aktivitas manusia dapat dikategorikan sebagai bentuk pekerjaan. Karena di dalam makna pekerjaan terkandung tiga aspek yang harus dipenuhinya secara nalar. Pertama, aktivitas yang dilakukan berdasarkan dorongan tanggung jawab (motivasi). Kedua, kegiatan tersebut dilakukan atas dasar kesengajaan. Terakhir, apa yang dilakukannya mengandung arah dan tujuan yang luhur.
Islam tidak hanya agama langit, tetapi sekaligus agama yang membumi. Itulah sebabnya, penghargaan Islam terhadap budaya kerja bukan hanya sekedar pajangan alegoris, penghias retorika, pemanis bahan pidato, yang indah dalam pernyataan tetapi kosong dalam kenyataan.
Menurut Quraish Shihab, ibadah adalah kerja dan kerja adalah ibadah. Tetapi perlu diingat bahwa kerja atau amal yang dituntut-Nya bukan asal kerja, tetapi kerja yang saleh atau amal saleh.  Namun demikian, kita harus mau merubah cara pandang kita tentang pekerjaan, bahwa tidak semua pekerjaan itu  bernilai ibadah, misalnya, bekerja sebagai “pekerja dunia malam.”
Ibadah itu adalah hal yang sifatnya spiritual. Tidak selamanya ibadah hanya berhubungan dengan Allah saja, tetapi ibadah juga berhubungan dengan manusia dan alam sekitar. Suatu pekerjaan akan bernilai ibadah apabila bernilai transendental dan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Pertama, pekerjaan itu harus didorong oleh niat mencari ridho Allah. Jika tidak demikian, maka pekerjaan itu tidak akan bernilai ibadah. Kedua, pekerjaan itu akan bernilai ibadah apabila berorientasi pada kualitas atau mutu. Ketiga, pekerjaan yang bernilai ibadah haruslah dikerjakan secara profesional, dalam arti harus dilengkapi dengan ketrampilan yang memadai. Terakhir, kerja itu bernilai ibadah apabila dilakukan dengan penuh kedisiplinan.
Kecenderungan Pekerja Masa Kini di Negeri Kita
Di era transformasi budaya seperti saat ini, para pekerja cenderung menonjolkan hasrat duniawi dan melupakan sisi spiritualitas, apalagi mencari ridho Allah. Hal itu terbukti dengan tuntutan buruh kepada pemerintah dan pengusaha yang disampaikan dalam rangka memperingati Hari Buruh sedunia baru-baru ini. Tuntutan itu hampir tidak bisa dinalar, pantaskah para buruh tak hentinya menuntut upah lebih kepada para pengusaha? Tambahan uang koran, pulsa, hingga parfum?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar