Chelin Indra Sushmita
Mahasiswa Magister Ilmu
Komunikasi FISIP UNS Solo
Kasus pelecehan seksual yang
dilakukan mahasiswa Indonesia, Reynhard Sinaga, terhadap 48 pria di Inggris
menjadi berita paling hot, baik di
Inggris maupun Tanah Air. Pemberitaan kasus pemerkosaan dengan klaim yang
terbesar di Inggris memberikan pelajaran berharga sekaligus menyulut berbagai
komentar serta kritikan terhadap praktik jurnalistik di Indonesia.
Sejumlah orang, termasuk kalangan
peneliti, praktisi jurnalistik, hingga masyarakat awam membandingkan cara media
massa di Inggris dan media massa Indonesia memberitakan kasus hukum yang
menjerat Reynhard Sinaga. Sebagian dari mereka menilai cara media massa di
Inggris memberitakan Reynhard Sinaga lebih elegan. Sementara kebanyakan media massa
di Indonesia, khususnya berbasis online,
masih saja berfokus pada perspektif pasar yang sensasional dalam
memberitakan kasus pemerkosaan dengan terdakwa Reynhard Sinaga.
Kasus pemerkosaan yang dilakukan
Reynhard Sinaga secara tidak langsung menunjukkan adanya ketimpangan besar
dalam etika pemberitaan di dua negara berbeda, Inggris dan Indonesia. Reynhard
Sinaga dijatuhi hukuman penjara seumur hidup akibat terbukti memperkosa 48
pria. Namun, dalam persidangan terbongkar pemerkosaan Reynhard Sinaga berjumlah
nyaris 200 orang. Reynhard Sinaga telah ditangkap sejak 2017, namun pemberitaan
tentang dirinya baru disiarkan setelah hakim menjatuhkan vonis pada Desember
2019. Cara pemberitaan media massa Inggris tentang Reynhard Sinaga pun sangat
beretika dan tidak salah fokus.
Media massa di Inggris, BBC dan The Guardian menjadi yang paling banyak dijadikan rujukan di
Indonesia untuk memberitakan kasus pemerkosaan Reynhard Sinaga. Namun,
alih-alih membuat berita informatif, kritis, dan mencerahkan seperti BBC dan The Guardian, mayoritas media massa online di Indonesia justru melihat kasus ini sebagai suatu sensasi.
Berita soal Reynhard Sinaga
menjadi trending topic di Indonesia
sejak 6-16 Januari 2020. Ketika mengetik kata kunci Reynhard Sinaga di mesin
pencari, maka akan keluar sederet artikel terkait dari media Indonesia yang sebgian
besar bersifat clickbait. Dalam hal
ini, pemberitaan sejumlah media massa di Indonesia justru mengeksplorasi
hal-hal di luar konteks kasus pemerkosaan yang dilakukan Reynhard Sinaga. Mulai dari gaya selfie ganteng, orientasi seksual, keluarga, pandangan
teman-temannya, hingga potret rumahnya di Tanah Air.
Bisa dikatakan media massa online Indonesia secara tidak langsung
menelanjangi sosok Reynhard Sinaga. Hal inilah yang lantas membuat sejumlah
orang membandingkan perbedaan cara media Inggris dan Indonesia menulis
pemberitaan tentang kasus Reynhard Sinaga.
Sejumlah media massa di Inggris
seperti BBC, The Guardian, The Telegraph,
bahkan media lokal Manchester Evening
News, tidak menjadikan kasus Reynhard Sinaga sebagai berita murahan.
Padahal, kasus yang diklaim sebagai pemerkosaan terbesar di Inggris itu memuat
berbagai hal sensasional. Namun, media sekelas Daily Mail dan The Sun
yang biasa menjual berita sensasional pun tidak terlalu menjadikan latar
belakang Reynhard Sinaga sebagai objek pemberitaan sensasional.
Padahal, skala kasus sedemikian
dahsyat yang dilakukan imigran jelas merupakan sensasi tak terbantahkan untuk
mengundang klik. Apalagi Inggris merupakan tempat jurnalisme tabloid yang fokus
pada sensasi lahir. Namun, unsur sensasional dalam pemberitaan media massa
Inggris terkait kasus Reynhard Sinaga masih terbilang wajar.
Beberapa berita Inggris soal
kasus Reynhard Sinaga yang dibaca peneliti disajikan dengan cara berbeda dari
jurnalis di Indonesia. Media Inggris mendeskripsikan detail kekerasan yang
dialami korban. Tetapi, deskripsi yang diberikan sangat kontekstual sehingga
menunjukkan dengan jelas seberapa mengerikan peristiwa tersebut tanpa menyebut
identitas korban.
Dalam hal ini, media Inggris
sangat melindungi identitas korban. Sebaliknya, foto wajah pelaku dipampang
jelas di headline berita. Meski
demikian, media massa Inggris tidak mengulik soal latar belakang pelaku,
apalagi soal orientasi seksualnya. Mereka sangat sadar kekerasan seksual tidak
ada hubungannya dengan orientasi seks. Hal yang sering dibahas adalah status
Reynhard Sinaga sebagai mahasiswa. Tidak ada perhatian lebih soal orientasi
seksual pelaku. Bahkan, negara asal Reynhard Sinaga tidak terlalu diperhatikan.
Pemberitaan kasus Reynhard Sinaga
di media Inggris sangat berbeda dengan di Indonesia. Sejumlah media massa di
Indonesia justru lebih fokus membahas soal latar belakang pria kelahiran Jambi,
19 Februari 1983 tersebut. Media massa di Indonesia bukan hanya menggambarkan
secara dramatis kasus pemerkosaan yang dilakukan Reynhard Sinaga dalam rentang
waktu 1 Januari 2015 hingga 2 Juni 2017.
Firman Imanuddin (2020) dari
lembaga peneliti media dan komunikasi, Remotivi, menilai pemberitaan tentang
Reynhard Sinaga di media massa online
Indonesia tidak fokus. Sejak awal dia sudah menduga akan terjadi marking alias kondisi di mana informasi
ditonjolkan dan dikaitkan dengan perilaku tertentu yang secara kontekstual sama
sekali tidak relevan. Meski demikian, dia menyebut pemberitaan media massa
cukup melegakan. Sebab, mayoritas media Indonesia tidak terlalu jauh menyeret
isu kasus pemerkosaan sesama jenis itu.
Menurutnya mayoritas media
Indonesia terpengaruh konten BBC atau
The Guardian yang hanya fokus pada
aspek kriminal dari kasus tersebut. Tetapi, dia menyayangkan masih ada sebagian
media massa yang mencoba mengembangkan kasus tersebut secara liar. Misalnya
mencari keterangan dari orang tua, teman dekat, serta hal-hal lain yang
berkaitan dengan pelaku demi menjual sensasi.
Kala itu, muncul beragam
celotehan di Twitter yang bernada miring. Netizen mempertanyakan alasan
jurnalis di Indonesia memberitakan hal-hal sensasional tentang sosok Reynhard
Sinaga. Beberapa dari mereka mempertanyakan kenapa penampakan rumah Reynhard
Sinaga dibahas?
Trending Topic vs Opini Publik
Berbagai pertanyaan itu tersebar
di media sosial, khususnya Twitter, yang menjelma sebagai ruang diskusi di era
digital. Pada perkembangannya, obrolan dan diskusi di Twitter itu berkembang
menjadi opini publik. Di era perkembangan teknologi yang begitu cepat ditambah
dengan kekuatan jejeraing sosial, opini publik bisa dengan mudah diamati
melalui media sosial. Sederhananya, opini publik yang berkembang di masyarakat
bisa dilihat dengan mudah lewat komentar atau status berupa tanggapan terhadap
suatu fenomena.
Opini publik terbentuk setelah
pesan dari komunikator dalam hal ini media massa online sampai kepada khalayak. Pesan inilah yang kemudian memancing
diskusi antar khalayak di ruang maya bernama media sosial Twitter. Pada
praktiknya diskusi di Twitter berkembang lewat fasilitas tagar. Berbagai
pendapat baik positif maupun negatif berpadu dalam celotehan yang kemudian menjadi
trending topic. Narasi dari trending topic inilah yang pada akhirnya
menyiratkan opini publik terhadap peristiwa tertentu.
Berdasarkan serentetan kicauan warganet
di Twitter tentang Reynhard Sinaga dapat disimpulkan mereka lebih banyak
menyoroti pemberitaan di media massa online
di Indonesia. Publik mulai cerdas dan kritis dalam mengamati sekaligus
mengomentari perbedaan pemberitaan Reynhard Sinaga di media massa Inggris dan
media massa Indonesia.
Cara media massa Inggris dan
Indonesia dalam memberitakan kasus Reynhard Sinaga memberikan gambaran
perbedaan yang sangat kentara. Jika dicermati hampir tidak ada informasi
murahan tentang kasus tersebut kecuali memuat efek traumatis korban dengan
menonjolkan sisi kebiadaban pelaku.
Media massa Inggris memang terlihat
masih menggunakan formula clickbait dalam
judul pemmberitaannya. Seperti The
Guardian yang menjuluki Reynhard Sinaga sebagai Peter Pan, tokoh animasi
anak-anak yang tidak tumbuh dewasa.
Kata Peter Pan dipakai untuk
menyebut Reynhard Sinaga yang terlihat dibandingkan usianya. Sementara Manchester Evening News dengan tegas
menyebut kasus pemerkosaan yang dilakukan Reynhard Sinaga paling mengerikan di
Inggris. Diksi yang dipakai dalam kedua judul berita tersebut menunjukkan kesan
berlebihan. Bahkan Manchester Evening
News menggambarkan Reynhard Sinaga sebagai seorang psikopat.
Kendati demikian, media massa online di Inggris hanya berfokus
memberitakan kejahatan Reynhard Sinaga dalam kasus pemerkosaan. Mereka tidak
membahas latar belakang Reynhard Sinaga yang merupakan seorang imigran. Tidak
seperti sejumlah media massa di Indonesia seperti Okezone.com, Tribunnews.com, Detik.com, Sindonews.com, dan Kompas.com yang juga ikut mengulas hal
lain di luar konteks kasus pemerkosaan dengan terdakwa Reynhard Sinaga.
Sementara media massa online Indonesia lebih suka mengulas
hal-hal di luar kejahatan, tetapi masih berhubungan dengan sosok Reynhard
Sinaga. Hal itulah yang kemudian menjadi sumber kritik dan berkembang menjadi
opini publik jika gaya pemberitaan media massa Inggris lebih elegan ketimbang
media massa online di Indonesia. Mengapa
demikian?
Sayangnya, pertanyaan itu tidak
terjawab yang pada akhirnya membuat warganet berkesimpulan bahwa wartawan
Indonesia tidak punya pengetahuan yang cukup. Dalam hal ini komentar tersebut
bisa dimaklumi lantaran tidak semua netizen paham praktik bisnis media massa di
Indonesia dan benturannya dengan prinsip etika jurnalistik.
Etika Problem Pelik Jurnalistik
Tidak dapat dimungkiri etika
jurnalisme di era digital menjadi problem yang cukup pelik. Persoalan itu
mengemuka akibat perkembangan teknologi komunikasi yang semakin pesat. Dunia
jurnalistik kini memasuki era baru. Di ranah jurnalisme, Internet melahirkan
jurnalisme online dan menawarkan saluran informasi baru berupa media massa online.
Kehadiran jurnalisme online telah
merevolusi pemberitaan, yakni kecepatan menjadi faktor utama. Kini, berita
bukan lagi peristiwa yang telah terjadi, tetapi peristiwa yaang sedang
berlangsung. Jurnalisme online yang
disiarkan melalui internet menyajikan berita yang memungkinkan pengguna
memperbarui berita dan informasi secara cepat dan saling berhubungan. Oleh
sebab itu, orang melihat Internet sebagai media yang cepat ketimbang detil
dalam menyajikan informasi, (Widodo, 2010).
Problem jurnalisme online bukan hanya soal kecepatan, tapi
juga tingkat kemenarikan berita yang disajikan ke publik. Sepenting apapun isi
suatu berita, jika judulnya kurang memikat biasanya akan diabaikan begitu saja
oleh pembaca. Hal ini terjadi lantaran tipe pembaca media online yang biasanya hanya melihat sesuatu secara selintas. Jadi,
judul memikat menjadi hal mutlak yang harus dipikirkan jurnalis media online. Salah satu cara yang paling
banyak dilakukan jurnalis media online
untuk menarik perhatian pembaca adalah menulis judul bombastis dengan formula clickbait alias umpan klik.
Ankesh Anand (2016) dari Indian
Institute of Technology dalam tulisannya bertajuk We Used Neural Networks to Detect Clickbaits: You Won't Believe What
Happened Next menjelaskan clickbait
merupakan judul berita yang dibuat untuk menggoda pembaca. Biasanya judul
dibuat dengan bahasa provokatif yang menarik perhatian.
Clickbait tengah menjadi fenomena yang menjamur di dunia digital,
khususnya media online. Tujuannya
hanya untuk menarik pembaca mengunjungi situs web guna mendulang page view alias jumlah klik berita.
Judul clickbait memantik konsekuensi
emosional. Pembaca biasanya mengeklik artikel lantaran ingin memuaskan sisi
emosional.
Kehebohan judul berita online
tersebut biasanya memancing komentar bahkan hingga memicu perdebatan di
kalangan pembaca. Berbagai kata yang mengusik sisi emosional manusia dipakai
dalam formula clickbait demi menarik
pembaca. Dengan demikian, berita online
seperti boleh dibuat taanpa mengindahkan prinsip-prinsip dan kode etik
jurnalistik.
Semua hal seolah boleh dilakukan
dengan dasar menarik pembaca dan meningkatkaan performa situs. Alhasil,
sebagian besar judul berita di media online
menerapkan pola clickbait. Jika
perlu, judul berita dibuat seru bahkan menggunakan kata saru demi menjaring
pembaca. Berita sensasional semacam ini menjadi pertanda rendahnya standar
etika jurnalisme di kalangan jurnalis media online.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen
(AJI), Abdul Manan, menilai, fenomena clickbait
tidak bisa dihindari di era persaingan media digital yang sangat ketat seperti
saat ini. Sebab, pemilik media tentu berkepentingan mempertahankan bisnisnya
untuk meraih pendapatan dari kue iklan. Meski demikian, menurutnya media online tetap harus bertanggung jawab
menjaga marwah jurnalisme, kode etik, dan aturan-aturan yang berlaku.
Bagi sejumlah media massa online termasuk di Indonesia, clickbait merupakan cara memperpanjang
napas bisnis. Tapi, itu bukanlah cara yang dianjurkan. Namun hal itu bukanlah
cara yang dianjurkan lantaran media online
sebenarnya bisa melakukan improvisasi konten dengan hal-hal baru, bukan sekadar
mengandalkan judul penuh sensasi untuk mengundang klik padahal beritanya tak
bermutu.
Adapun yang dimaksud dengan
konten tak bermutu adalah berita yang mengandung unsur sensasi, seksual,
erotisme, atau hal-hal yang menuai kontroversi. Pasalnya, clickbait berpotensi membuat media online tidak menjalankan fungsi jurnalismenya secara benar, tanpa
verifikasi, pembohongan publik, dan tidak mendidik masyarakat.
Ironisnya meski sadar ditipu
mentah-mentah dengan judul clickbait, kebanyakan
orang masih saja mau membaca berita tersebut. Sampai kapan mau terus terbuai
dengan tipuan semacam itu?